Selasa, 04 September 2012

BLOG TIDAK BISA DI COPY/PASTE


Begitu banyak blog yang ada di dunia ini...
tapi tidak sedikit yang punya isi yang sama dengan blog orang lain..
budaya mencontek (copy-paste) sulit hilang dari dunia blogger, apalagi kita sulit menerka siapa yang mencontek siapa...

Salah satu cara agar dapat menghentikan budaya tersebut adalah dengan mengunci yakni menggunakan script pada blog kita,,,
Berikut adalah caranya...

Membuat Blog Tidak Bisa Dicopy Paste
1. Login ke Blogger.
2. Di halaman Dasbor, kita pilih Design/Rancangan.
3. Kemudian pilih Edit HTML
4. Akan ada pertanyaan, tekan/klik saja OK
5. Beri tanda centang pada Expand Template Widget
6. Taruh kode berikut di atas kode </head>

<script type="text/javascript"> function disableSelection(target){
if (typeof target.onselectstart!="undefined") //IE route
    target.onselectstart=function(){return false}
else if (typeof target.style.MozUserSelect!="undefined") //Firefox route
    target.style.MozUserSelect="none"
else //All other route (ie: Opera)
    target.onmousedown=function(){return false}
target.style.cursor = "default"
}
</script>

6. Lalu taruh kode berikut di bawah kode </head>

<script type="text/javascript"> disableSelection(document.body) //disable text selection on entire body of page </script>

7. Simpan Template jika sudah selesai.

Jumat, 25 Mei 2012

Imperialisme dan Kolonialisme


Istilah imperialisme yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1830-an, imperium Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1830-an, istilah ini diperkenalkan oleh penulis Inggris untuk menerangkan dasar-dasar perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh Kerajaan Inggris. Orang Inggris menganggap merekalah yang paling berkuasa (Greater Britain) karena mereka telah banyak menguasai dan menjajah di wilayah Asia dan Afrika. Mereka menganggap bahwa penjajahan bertujuan untuk membangun masyarakat yang dijajah yang dinilai masih terbelakang dan untuk kebaikan dunia.
Imperialisme merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik negara-negara kaya dan berkuasa , mengawal dan menguasai negaranegara lain yang dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara penjajahnya.
Imperialisme menonjolkan sifat-sifat keunggulan (hegemony) oleh satu bangsa atas bangsa lain. Tujuan utama imperialisme adalah menambah hasil ekonomi.[1] Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang mereka kuasai karena sumber ekonomi negara mereka tidak mencukupi. Selain faktor ekonomi, terdapat satu kepercayaan bahwa sebuah bangsa lebih mulia atau lebih baik dari bangsa lain yang dikenal sebagai ethnosentrism, contoh bangsa Jerman (Arya) dan Italia. Faktor lain yang menyumbang pada dasar imperialisme adalah adanya perasaan ingin mencapai taraf sebagai bangsa yang besar dan memerintah dunia, misalnya dasar imperialisme Jepang.
Dasar imperialisme awalnya bertujuan untuk menyebarkan ide-ide dan kebuadayaan Barat ke seluruh dunia. Oleh karena itulah, imperialisme bukan hanya dilihat sebagai penindasan terhadap tanah jajahan tetapi sebaliknya dapat menjadi faktor pendorong pembaharuan-pembaharuan yang dapat menyumbang kearah pembinaan sebuah bangsa seperti pendidikan, kesehatan, perundang-undangan dan sistem pemerintahan.
Sarjana Barat membagi imperialisme dalam dua kategori yaitu imperialisme kuno dan imperialisme modern. Imperialisme kuno adalah negara-negara yang berhasil menaklukan atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu imperium seperti imperium Romawi, Turki Usmani, dan China, termasuk spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh jajahan di Asia, Amerika dan Afrika sebelum 1870, tujuan imperialisme kuno adalah selain faktor ekonomi (menguasai daerah yang kaya dengan sumber daya alam) juga termasuk didalamnya tercakup faktor agama dan kajayaan .
Sedangkan Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an. Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya kelebihan modal dan Barang di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870-an , negara-negara Eropa berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika. Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Dasar Imperialisme ini dilaksanakan demi agama, mereka menganggap bahwa menjadi tugas suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam penindasan dan ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang seperti para misionaris Kristen yang menganggap misi penyelamat ini sebagai The White Man Burden Diantara faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya imperialisme adalah faktor dan ekonomi
Koloni merupakan negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi.Kebanyakan koloni yang yang dijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan untuk mendapatkan bahan mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri di Inggris.
Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas sebuah wilayah atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk mendapatkan sebuah wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai.[2] Usaha untuk mendapatkan wilayah biasanya melalui penaklukan. Penaklukan atas sebuah wilayah bisa dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari penguasa lokal, untuk memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka kemudian mulai campur tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan biasanya mereka akan berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan mereka. Negara yang menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah jajahannya, meliputi aspek kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan sebagainya. Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha mengusainya. Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Ini karena kuasa kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka.
            Kolonialisme berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua, setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak pertikaian kuasa-kuasa imperialis.


[1] Kahin,George MC Turnan. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Ismail bin Muhammad. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajar Malaysia, 1980.
[2] Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosutanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka. 1990.

Konsep Kekuasan Jawa


Konsep  kekuasaan  Jawa,  dalam  beberapa hal  memiliki  ciri-ciri  yang  sama  dengan  hampir kebanyakan  konsep  kekuasaan  dalam  masyarakat  tradisional,  yakni  konsep  dewa raja. Konsep  ini  pada  dasarnya  dimaksudkan,  bahwa raja  sebagai  kepala  pemerintahan  dan  sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya,  bahwa  konsep  kekuasaan Jawa khususnya Mataram, mencakupi kekuasaan yang  bersifat  religius  (keagamaan)  dari  kepercayaan yang pernah ada. Adanya konsep kekuasaan,  bahwa  raja  adalah  seorang  yang sakti  dan kesaktian  adalah  salah  satu  kepercayaan  yang biasa  dianut  oleh  masyarakat  primitif setelah masuknya Hindu ke Indonesia, khususnya Jawa, seorang raja mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa,  keturunan  dewa,  maupun  penjelaman dewa,  sebagai  salah  satu  cara yang  ditempuh guna  melegitimasikan  kekuasaannya. 
Ketika agama  Islam  masuk  ke  Indonesia  dan  menjadi salah  saut agama  yang  mempunyai  penganut sangat  besar,  para  raja  juga  berusaha  memanfaatkan  pengaruh  keagamaan  ini guna  memperkokoh  kedudukannya,  dengan mengambil garis  keturunan  (silsilah)  dari  nabi-nabi  yang sesuai  dengan  kepercayaan  agama  Islam  ataupun  mengambil  garis  keturunan  dari  wali-wali penyebar agama Islam. Perbedaan  ini  tentu  saja  disebabkan  karena  Indonesia  khususnya  Jawa, memiliki  latar belakang  budaya  yang  berlainan  bila  dibandingkan  dengan  masyarakat  lainnya. Adanya  perbedaan  ini  menunjukkan  bahwa  konsep  kekuasaan  Jawa  di  samping  memiliki  persamaan dengan  masyarakat  atau  bangsa lain,  sekaligus juga  memiliki  perbedaan  yang  merupakan  ciri khas masyarakat Jawa. Mengingat  masyarakat  Jawa merupakan mayoritas di Indonesia, pengaruh konsep kekuasaan  Jawa  tentunya  juga  mempengaruhi konsepkekuasaaan  masyarakat  lainnya di  Indonesia.
Adanya  kenyataan  bahwa  elit  politik  di  Indonesia  umumnya  berasal  dari  suku  bangsa Jawa, maka  tidak  disangkal  lagi  bahwa  kehidupan  pemerintahan  ataupun  kenegaraan  di Indonesia  diwarnai  oleh  budaya  Jawa  dengan berbagai ciri feodalismenya. Budaya  Jawa  adalah  budaya  yang sangat feodal  dan  kefeodalannya  sebenarnya  tidak  dapat  dilepaskan  dari  latar  belakang  sejarahnya. Bila  dibandingkan  dengan  suku bangsa  lainnya di Indonesia, maka masyarakat Jawa adalah yang paling banyak mendapat pengaruh dari berbagai budaya asing. Terlebih lagi, hampir semua pusat kekuasaan  pemerintahan  yang  ”berskala  nasional”  umumnya  berpusat atau terdapat  di Jawa,  sehingga  Jawalah  yang  paling  banyak  dipengaruhi dan  sekaligus banyak berbagai  sektor sosial budaya masyarakat di Indonesia.
Budaya  Jawa  yang  sangat  feodal sebenarnya  kurang  cocok  dengan  alam  demokrasi  di Indonesia, namun demikian feodalisme Jawa ini ternyata  tidak  selalu  diutamakan  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  karena  adanilai  moral  (etika)  lain  yang sekaligus  menjadi semacam  isolator  yang menghambat  berkembangnya  feodalisme  ini.  Memang  pernah, dulu ketika  kekuasaan Mataram masih  berperan dalam bidang politik di Indonesia, budaya Sunda yang  sebenarnya  dan  sebelumnya lebih  demokratispun  sempat  difeodalisasikan  oleh  budaya Jawa. Bahasa Sunda yang semula tidak mengenal undak-usuk,  telah  mendapat  warna  baru  yang semakin  mempertegas  dan  memperjelas  adanya tingkatan-tingkatan sosial.  Dalam bahasa  Sunda pun  kemudian  juga  dikenal  tingkatan  bahasa(undak-usuk)  dan  berbagai etika  Jawa  dengan segala  stratifikasi  sosialnya. Namun  demikian, hal  ini  tidak  perlu  dicemaskan oleh  berbagai suku bangsa lainnya, mengingat orang Jawa juga memiliki  kelebihan  lainnya,  yakni  sikap  toleran yang  kemungkinan  sukar  dicari bandingannya pada suku bangsa lainnya. Toleransi  yang  besar  yang  dimiliki  oleh orang Jawa, bukan saja toleran terhadap budaya lain,  tetapi  juga  terhadap  agama  lain.  Sikap toleran  semacam  ini  dapat  dilihat  dari  latar belakang  sejarah  budaya  Jawa, dari  sejak masuknya  bangsa  Barat  dengan  agama Nasraniya dan budaya Baratnya. Dalam keluarga Jawa, tidak merupakan hal aneh  jika  salah  satu anggota  keluarganya menganut  agama  lain  yang  berbeda  dengan agama kedua orang tuanya. Demikian juga, tidak merupakan  hal  aneh  jika  dalam keluarga  Jawa terdapat  anggota  keluarganya  yang,  menikah dengan suku bangsa lain, bahkan dengan bangsa lainnya.  Hal  semacam  ini  kemungkinan  merupakan  hal  yang  sangat  sulit  didapat  ataudiketemukan  dalam  lingkungan  keluarga  dari suku bangsa lainnya.Dari  pengalaman  historis  suku bangsa Jawa sejak  masuknya  Hindu  ke  Indonesia, membuktikan  adanya  sikap  toleran  yang  demikian. Bangsa Indonesia (Jawa) yang  sebelumnya menganut  kepercayaan animisme-dinamisme dapat menerima pengaruh agama Hindu dengan berbagai  etika  dan  budayanya, sehingga  agama ini dapat berkembang  pesat  di Jawa  bila  dibandingkan  dengan  di  daerah  lain  yang  memiliki budaya lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan  keagamaan  Hindu  yang diketemukan di  berbagai  daerah  di  pulau  Jawa,  khususnya  di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Budha ke Indonesia (Jawa) pun, tidak  mengalami hal sulit,  dan  bahkan mendapat  sambutan  yang  sangat menggembirakan  dari  orang  Jawa.  Hal  ini  bukan  sajaditandai  atau  dibuktikan  dengan  diketemukannya  berbagai  bangunan  keagamaan  agama Budha,  seperti  Candi  Borobudur  yang  terkenal itu,  tetapi  juga  diketemukan  suatu  kenyataan bahwa  di  Jawa  telah  terjadi  akulturasi  antara budaya  Hindu-Budha  dan  Jawa,  demikian  juga terjadinya  sinkretisme  antara agama  Hindu-Budha-Anisme/Dinamisme  (Jawa).  Diketemukannya  patung hari-hara yang  merupakan  perwujudan  patung  Hindu-Budha,  yang  dalam  pelaksanaan  ritualnya  sudah  barang  tentu  mendapat ”corak Jawa” pula. Selain masuknya agama Hindu dan Budha ke  Indonesia  (Jawa),  kemudian masuk  pula orang  Arab  dengan  agama  Islamnya.  Agama Islam  diterima  secara  terbuka oleh  orang  Jawa, bahkan kemudian  mampu berkembang  pesat di Jawa  dan  juga  di  berbagai  daerah  di  Indonesia. Agama Islam  di Indoneisa  telah menjadi agama yang  bukan  saja  terbesar  di  Jawa,  tetapi  juga terbesar  di  dunia.  Mengingat  mayoritas  penduduk Indonesia  adalah dari  suku  bangsa  Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk agama Islam-pun adalah terdiri dari orang-orang Jawa. Pada  waktu  bangsa  Barat  (Portugis,  Spanyol  dan  Belanda)  dengan  budaya  Barat  dan
agama Nasraninya masuk ke Indonesia, juga diterima  secara  terbuka  oleh  orang  Jawa. Terjadinya berbagai pertikaian dengan bangsa Barat sebenarnya  bukan  disebabkan  oleh  perbedaan agama  atau  budaya  Baratnya,  tetapi  dan  terutama  disebabkan  karena  adanya sikap  sewenangnya-wenang  yang  dilakukan  oleh  para pemuka  Barat  terhadap  bangsa  Indonesia  (Jawa).  Kalau  dalam  sejarah  perlawanan  terhadapBarat  diketemukan  adanya  perlawanan  yang bersifat  rasialis  ataupun  bersifat  keagamaan, sebenarnya  hanya  merupakan  pemicu  perlawanan  saja.  Sebab  dalam  gerakan  sosial, termasuk  juga  terjadinya  perlawanan terhadap bangsa Barat yang semula bersifat politik, dapat saja di beri ”baju” lain, yakni ”baju” keagamaan ataupun kebangsaan. Demikian juga sebaliknya. Seperti  pernah  dikemukakan  sebelumnya, sekalipun  orang  Jawa  mendapat berbagai  pengaruh  dari  berbagai  budaya  lain, namun  corak ataupun  warna  ”kejawaanya”  akan  selalu  nampak,  yang  bahkan  seringkali  lebih  dominan  dibandingkan  dengan  pengaruh  dari  luar  itu sendiri. Dengan demikian, kebesaran (mayoritas) suku  bangsa  Jawa  juga  tetap  memiliki  peran besar  yang  positif  dalam  kehidupan  berbangsa dan bernegara di Indonesia, sekalipun tidak bisa dipungkiri  tentunya  juga  memiliki  segi-segi  negatifnya. Mayoritas  suku  bangsa  Jawa  di Indonesia yang  terdiri  dari  banyak  suku bangsa  dan  budaya,  bukan  saja  memberikan  manfaat  yang sangat positif, tetapi juga manfaat yang strategis bagi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa. Kalau  bahasa  Indonesia  dibanggakan  sebagai ”bahasa  persatuan”,  maka  suku bangsa  Jawa juga  dapat  dan  berfungsi  demikian. 
Bisa dibayangkan  seandainya  di  Indonesia  ini  setiap suku  bangsa  memiliki  anggapan bahwa suku bangsanyalah yang paling baik paling besar, atau paling  tidak  setiap  suku  bangsa  sama baiknya dan sama besarnya, pertikaian antar etnis seperti yang  sering  terjadi  di  berbagai  negara  seperti India,  Afrika  Selatan, atau negara-negara  Afrika lainnya, pasti sering terjadi.
Dengan demikian, suku bangsa Jawa dapat disebut  sebagai  suku  bangsa  persatuan,  karena dengan  adanya  suku  bangsa  ini persatuan  dan kesatuan  nasional  dapat  tetap dipertahankan. Sehingga  tidak  menutup  kemungkinan,  bahwa nantinya  nasionalisme  justru  tumbuh  kembang dari lingkungan keluarga Jawa yang sekarang ini sudah  berbaur  dengan  banyak  suku  bangsa lainnya,  bahkan  juga  dengan  banyak  bangsa. Sifat  fleksibel  dan  toleran  yang  dimiliki  suku bangsa  Jawa,  membawa  dampak  positif  bagi terciptanya  kesatuan  nasional.  Hal  semacam  ini jarang dikemukakan pada suku bangsa lainnya di Indonesia,  sebagai  contoh misal  di  kota Medan para  penganut  agama  Hindu  atau Budha semuanya  berasal  dari  keturunan  asing  seperti Tamil,  India  dan  lain-lain.  Penduduk  asli setempat  tidak  ada  yang  menganut  agama tersebut, hal ini berbeda misalnya dengan orang Jawa. Sekalipun di wilayah Jawa tengah, Daerah Istimewa  Yogyakarta  dan  Jawa  Timur  mayoritasnya  berbagai  Islam, tetapi  di  antara  mereka terdapat juga pemeluk agama lain, seperti agama Hindu dan Budha. Kelemahan yang dimiliki oleh budaya Jawa yang  satu  akan  dapat  ditanggulangi  oleh kelebihan  etika  Jawa  yang  lain lagi,  sehingga antara  kekurangan  dan  kelebihannya  itu  dapat dicari  suatu  alternatif  sikap, baik  dalam kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  maupun dalam berbagai  sektor  kehidupan  lainnya. Feodalisme Jawa dapat diatasi oleh sikap tenggang rasa, yang intinya  mencerminkan perlunya sikap demokratis  terhadap  sesamanya. Sikap  yang demikian  ini  selain  mengajarkan  perlunya  sikap demokratis,  juga  sikap  dan  sifat  adil guna diperoleh  suatu  kebenaran  dalam  kehidupan bermasyarakat  dan  bernegara.  Sejalan  dengan semakin  meluasnya  pendidikan  di  Indonesia, maka  feodalisme  Jawa  tentunya juga  akan semakin menipis, sehingga memberikan peluang yang sangat  baik  bagi semakin terciptanya  iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi sikap feodal ini umumnya hanya dimiliki oelh generasi itu, yang sebentar  lagi  sudah  akan  berakhir  perannya dalam  kancah  kehidupan  politik maupun pemerintahan di Indonesia, dan digantikan oleh generasi  muda  yang  sudah  banyak  mendapat didikan  yang  lebih  demokratis dibandingkan dengan pendahulunya.
Terkikisnya sikap feodal Jawa ini nantinya bukan  hanya  disebabkan  oleh  meningkatnya pendidikan  di  Indonesia  yang semakin  meluas dan semakin maju, tetapi tidak kalah pentingnya adalah  semakin  meluasnya  ajaran  keagamaan, khususnya  agama  Islam  yang  mengajarkan  paham  keadilan,  kesamaan  derajat umat  manusia. Hal  ini  sejalan  dengan  ajaran agama  Islam  dari salah  satu  ayat  ajarannya,  yang  antara  lain mengatakan:  ”bahwa  di  hadapan  Allah  semua manusia itu sama, yang membedakannya adalah amal dan ibadahnya”. Dari  berbagai kenyataan  semacam  ini,  sebenarnya  tidak  perlu  dikhawatirkan  akan timbulnya  ”Javanisasi”  yang  akan  menghilangkan  corak  atau  warna  budaya  lainnya,  tetapi seharusnya  justru  budaya  lain akan  terwadahi oleh budaya Jawa yang terkenal sangat toleran diberbagai  bidang,  baik  masalah kesukuan,  keagamaan,  maupun  kebudayaan  dan antar golongan (SARA=Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Toleransi  budaya  ataupun  orang  Jawa  ini akan  semakin  berkembang  sejalan  dengan semakin  besarnya  jumlah  orang Jawa,  karena suatu masyarakat yang semakin besar  maka rasa kedaerahan  ataupun  kesukuannya  juga  akan  semakin  melemah.  Hal  ini  berbeda misalnya  dengan  suku  bangsa  minoritas,  maka  rasa  kesukuannya justru akan semakin menguat, dan cenderung  bersifat  radikal,  tertutup  dan  rasial.  Sebagai contoh  etnis  Cina  di  Indonesia,  atau  dibanyak negara. Demikian juga bangsa Yahudi di Israel, atau di berbagai negara di dunia.


copy link : seni dan budaya jawa
http://www.mediafire.com/view/?fx3co45fj0ecjxp

Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945


Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945
Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam
Lembaga Perwakilan Indonesia

Oleh: Soebardjo
Dosen Fakultas Hukum UAD
e-mail: -



Abstract
Formally, Indonesia adopts bicameral system as there are the House of Representatives
(DPR) and the Regional Representatives Council (DPD). However, structurally,
it could be deemed ad tricameral, as there are three representative bodies
available; People’s Consultative Assembly (MPR), House of Representatives (DPR)
and the Regional Representatives Council (DPD). Thus, practically, Indonesian
parliamentary system is unicameral since the authority for legislation lies in the hand
of the members of the House of Representatives (DPR).















copy link : 
http://www.mediafire.com/view/?c1beg5cefnf777c

Kamis, 24 Mei 2012

muslim demokrat - riview


Nama              : Immanuel A Sihotang
NIM                : 070906035
Departemen   : Ilmu Politik

Tugas Review
(buku : Muslim Demokrat – Saiful Mujani)

Dalam buku ini ditunjukkan secara sistematis hubungan antara Islam dan demokrasi, dengan mendefinisikan Islam secara empiris menurut dimensi-dimensi Islam dan komponen-komponen demokrasi, yakni budaya demokrasi (modal sosial, toleransi politik, keterlibatan politik, sikap percaya pada instisusi politik) dan partisipasi politik.
Sejarah perkembangan ideologi politik umat manusia akan berakhir dengan sistem demokrasi. Begitu prediksi Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man (1992). Demokrasi telah terbukti sebagai ideologi yang paling banyak dianut oleh negara-negara di seluruh dunia era pasca-Perang Dingin. Tetapi hal itu tidak terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim terutama di negara-negara Arab atau Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat berkembangnya kebudayaan Islam. Negara – negara muslim pada umumnya gagal menerapkan nilai-nilai demokratis. Bahkan, sebagian besar negara muslim sampai kini masih menerapkan sistem pemerintahan yang represif dan otoritarian.
Index of  Political Right and Civil Liberty yang dikeluarkan Freedom House (2002) menunjukkan bahwa sepanjang tiga dekade terakhir hanya ada satu negara Muslim yang mampu membangun demokrasi secara penuh selama lebih dari lima tahun, yakni Mali di Afrika. Dua belas negara Muslim lainnya termasuk kedalam kelompok semi demokratis. Sisanya, 35 negara, bersifat otoritarian. Lantas, mengapa demokrasi jarang ditemukan di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, padahal era demokrasi kian mengglobal? Mengapa sistem demokrasi sangat sulit berkembang dan tidak terkonsolidasikan dengan kukuh di negara-negara Muslim? Apakah fenomena ini terkait dengan Islam?
            Saiful Mujani menampilkan sejumlah argumen kesarjanaan Barat mengenai pandangannya terhadap hubungan antara Islam dan demokrasi. Kedourie, Lipset, Gellner, Mardin, Huntington, dan Lewis percaya bahwa Islam bertanggung jawab atas langkanya demokrasi di negara-negara Muslim. Mereka juga percaya bahwa semakin kuat Islam dalam suatu masyarakat, demokrasi semakin tidak mungkin dapat dijumpai di masyarakat tersebut. Huntington (1997), misalnya, mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha mengenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Itu tidak lain karena watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep leberalisme Barat.
Hal yang sama dikatakan oleh Elie Kedourie (1992), seperti yang dikutip buku ini, bahwa peradaban Islam bersifat unik; kaum muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup pada dunia luar. Baginya, peradaban seperti itu meghambat kaum muslim untuk mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban lain (h. 13).
Buku ini menarik karena Saiful Mujani tidak hanya menampilkan hipotesis para sarjana Barat yang memandang hubungan negatif antara Islam dan demokrasi, tapi juga menyajikan pandangan yang berbeda. Tessler, misalnya, mengatakan bahwa praktik keagamaan umat Islam dan nilai politik tidak memiliki hubungan negatif yang berarti dengan demokrasi.
Saiful Mujani memilih Indonesia sebagai studi kasus penulisan buku ini. Menurut dia, studi tentang hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia sudah banyak, namun belum cukup dilakukan secara sistematis. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia, kaum Muslimnya memiliki bentuk keyakinan yang sangat beragam.
Dalam kesimpulan penelitian ini, Mujani memperoleh satu kesimpulan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Keduanya justru saling mendukung. Bahkan, Islam sangat mendorong pembentukan politik demokrasi. Apalagi sesudah Orde Baru runtuh pada 1998, masyarakat Islam sangat aktif melibatkan diri dalam dinamika politik. Ini terlihat dari tumbuhnya partai politik berbaju Islam. Misalnya PKB, PBB, PKS, PKNU, dsb.
Secara kualitatif, munculnya partai-partai yang berlabel Islam itu memberi warna dan varian tersendiri bagi iklim politik di Indonesia. Partai-partai tersebut hampir tidak ada (untuk menyebutkan tidak ada) yang bercorak atau mempunyai paradigma untuk mendirikan negara Islam (khilafa) yang terkesan otoriter. Islam hanya sebagai agama (prilaku, etika), bukan termasuk komunitas institusi negara. Artinya, partai politik yang bebaju Islam ingin menciptakan politik yang demokratis yang memberi kesejahteraan pada rakyat. Oleh sebab itu, menurut Mujani, demokrasi harus dipahami melalui dua cara. Pertama, sebagai sebuah kompleks budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar sesama warga, jaringan keterlibatan kewargaan, toleransi, keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, serta dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa (nation-state). Kedua, sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting hingga protes oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan publik.
Studi demokrasi melalui pendekatan dua cara tersebut, oleh Mujani, dipandang lebih sistematis dan analitis dalam mengkaji hubungan antara Islam dan demokrasi. Sebab, budaya politik dipandang sebagai orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau sebagai sikap terhadap sistem politik dan terhadap diri sebagai aktor politik. Orientasi ini termasuk pengetahuan atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap sistem politik secara umum, input dan output politik, dan perasaan seseorang dalam sistem politik. Variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi partisipasi politik dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas demokrasi.
Buku ini menyuguhkan kajian sistematis dan empiris mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi, terutama mengenai prilaku politik masyarakat Islam Indonesia. Karena itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh para akademisi politik, pengamat politik, dan kalangan umum yang tertarik untuk memahami lebih dalam lagi hubungan antara budaya politik Islam dan demokrasi.

POLA PENGEMBANGAN PARTAI GOLKAR

Segala sesuatu yang tertulis pada data ini merupakan hasil dari tulisan laporan PKL oleh mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara

NB : Jangan digunakan sembarangan...!! 

jadikan sebagai referensi dan pertimbangan bagi tugas anda, bukannya di copy-paste kemudian di kumpulkan lagi...
:D
copy link:
kata pengantar dan daftar isi : http://www.mediafire.com/view/?52q9lfp5kz5bn9j
isi                                         : http://www.mediafire.com/view/?5jxn6464wgiwg7n

Pengertian Bahasa


Pengertian Bahasa
Apa itu bahasa ? Untuk menjawab pertanyaan  tersebut, ada baiknnya jika kita memperhatikan beberapa  pengertian bahasa tersebut berdasarkan  pengertian umum dengan melihat kamus umum,  sebagai istilah linguistik dengan melihat kamus linguistik,  dan menyimak aneka pendapat para ahli dari latar belakang yang berbeda.
Dalam kamus umum, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 66) bahasa diartikan sebagai  sistem lambang bunyi  berartikulasi  yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional  yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Kamus Webster mendefinisikan bahasa sebagai A systematic  means of communication ideas or feeling by the use of communication sign, sounds, gestures, or mark having understood meanings.
Dari dua makna umum tentang bahasa di atas,  ada persamaan yang jelas. Persamaan itu adalah bahwa bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi  antar manusia untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi baik yang berupa suara, gestur (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan.
Sebagai sebuah istilah dalam linguistik, Kridalaksana (1993:21) mengartikannya sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat  untuk bekerja sama, berinteraksi,  dan mengidentifikasikan diri. Pei dan Gaynor (1975:119) mengatakan bahwa bahasa adalah A system of communication by sound, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of certain group or community, using vocal symbols possessing arbitrary conventional meaning.
Dari pandangan ahli linguistik seperti Kridalaksana, Pei, dan Gaynor di atas, bahasa ditekankan sebagai sebuah sistem lambang. Istilah sistem  mengandung makna adanya keteraturan dan adanya unsur-unsur pembentuk.
Jalaludin Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi, melihat bahasa dari dua sisi yaitu sisi formal dan fungsional.  Secara formal,  bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara fungsional, bahasa diartikan  sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan.  Definisi yang diajukan Rakhmat ini tampak mencoba  merangkum pengertian umum dengan pendapat linguis.  Istilah sisi formal yang dikemukakan  Rakhmat mirip dengan istilah sistem, sedangkan sisi fungsional  sejalan dengan bahasa sebagai alat komunikasi.
Pemahaman bahwa bahasa sebagai alat komunikasi, juga didukung oleh seorang sosiolinguis  bernama Ronald Wardhaugh. Ia menyatakan bahwa bahasa adalah A System of aribtrary vocal symbols used for human communication
Penggambaran yang lebih luas tentang bahasa pernah disampaikan oleh bapak linguistik modern, Ferdinan de Saussure. Ia  menjelaskan bahasa dengan menggunakan tiga istilah  yaitu langage, Langue, dan parole. Ketiga istilah dari bahasa Prancis itu dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan satu istilah saja yaitu ‘bahasa’.  Langage  adalah sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal. Langage ini bersifat abstrak.  Istilah langue mengacu pada sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan parole adalah bentuk konkret langue yang digunakan dalam bentuk ujaran atau tuturan oleh anggota masyarakat dengan sesamanya (Chaer, 1995:39-40;  Chambers, 95:25; Verhaar,81:1).
Definisi lain tentang bahasa, antara lain bisa kita dapat dari Finochiaro. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan definisi-definisi di atas, ia  memasukkan kaitan  bahasa sebagai bentuk budaya. Ia menyatakan  bahwa  Language is a system of arbitrary, vocal sumbols which permits all peaple in a given culture, or other peaple who have learned the system of  the culture, to communicate or to interact.
Dari sudut pandang psikologi, karena bahasa itu sebuah sistem simbol terstruktur, maka bahasa bisa dipakai sebagai alat berpikir, merenung, bahkan untuk memahami segala sesuatu. De Vito menyatakan bahwa bahasa adalah  A potentially self-refleksive, structired system of symbols which catalog the objects, events, and relation in the world .
Dengan melihat deretan definisi tentang bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa cukup banyak dan bervariasi definisi tentang bahasa yang bisa kita temui. Variasi itu wajar  terjadi karena sudut pandang keilmuan mereka yang juga berbeda. Meskipun demikian,  variasi tersebut terletak pada penekanannya saja, akan tetapi hakikatnya sama.  Ada yang menekankan bahasa pada fungsi komunikasi, ada yang mengutamakan bahasa sebagai sistem,  ada pula yang memposisikan bahasa sebagai alat. Meskipun demikian, ada persamaan dalam hal-hal prinsip, yang oleh Alwasilah (1993: 82-89) disebut dengan hakikat bahasa, sebagaimana akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
 2. Hakikat Bahasa
a)      Bahasa itu sistematik,
Sistematik artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki sistem bunyi dan sistem makna yang beraturan. Dalam hal bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai  sebagai suatu simbol  dari suatu rujukan (referent) dalam berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan.  Kata pnglln tidak mungkin muncul secara alamiah, karena tidak ada vokal di dalamnya.  Kalimat  Pagi ini Faris pergi ke kampus, bisa dimengarti karena polanya sitematis, tetapi kalau diubah menjadi  Pagi  pergi ini kampus ke Faris  tidak bisa dimengarti karena melanggar sistem.
Bukti lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi dengan dengan  sufiks –kan dan –i seperti pada kata membetulkan dan menangisi. Akan tetapi tidak bisa berkombinasi dengan ter-. Tidak bisa dibentuk kata mentertawa, yang ada adalah mentertawakan atau tertawa. Mengapa demikian ? Karena bahasa itu beraturan dan berpola.
 b)      Bahasa itu manasuka (Arbitrer)
Manasuka  atau arbiter adalah acak , bisa muncul tanpa alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa  bisa muncul tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya.  Mengapa makanan  khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol bukan dedel atau dudul ? Mengapa  binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ? Mengapa tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi mengapa dalam bahasa Sunda disebut jukut, lalu dalam bahasa Jawa dinamai suket ? Tidak adanya alasan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan  tersebut.
Bukti-bukti di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau acak semaunya.  Pemilihan bunyi dan kata dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada konvensi atau kesepakatan pemakai bahasanya.  Orang Sunda menamai suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda, biarlah orang Jawa menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.
 Ada memang kata-kata tertentu yang bisa dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata  berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk menamai bunyi halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi, fenomena seperti itu hanya sebagtian kecil  dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.
 c)      Bahasa itu vokal
Vokal dalam hal ini berarti bunyi.  Bahasa mewujud dalam bentuk bunyi.  Kemajuan teknologi dan  perkembangan kecerdasan manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa.  Sistem penulisan hanyalah  alat untuk menggambarkan arti di atas kertas, atau media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai  pelestari ujaran. Lebih jauh lagi dari itu,  tulisan menjadi pelestari kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu antara lain berbentuk tulisan.
Realitas  yang  menunjukkan bahwa bahwa bahasa itu  vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa (linguistik) memiliki cabang kajian  telaah bunyi yang disebut dengan istilah fonetik dan fonologi.
d)      Bahasa itu simbol
Simbol adalah lambang sesuatu,  bahasa juga adalah lambang sesuatu. Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol dengan bahasa dengan bunyi  tertentu. Bunyi tersebut jika ditulis adalah hujan.  Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan titik-titik air yang jatuh dari langit itu.  Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta  berupa gambar di atas kertas.  Gambar adalah bentuk lain dari simbol.   Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki bahasa untuk menyimbolkan sesuatu  menjadikannya  alat yang sangat berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika  manusia tidak memiliki bahasa,  betapa sulit mengingat dan menkomunikasikan sesuatu kepada orang lain.
e)      Bahasa itu mengacu pada dirinya
Sesuatu disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk menganalisis bahasa itu sendiri.  Binatang  mempunyai bunyi-bunyi sendiri  ketika bersama dengan sesamanya, tetapi bunyi-bunyi yang meraka gunakan tidak bisa digunakan untuk  membelajari bunyi  mereka sendiri. Berbeda dengan halnya bunyi-bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi. Bunyi-bunyi yang digunakan manusia bisa digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri. Dalam istilah linguistik, kondisi seperti itu disebut dengan metalaguage, yaitu bahasa bisa dipakai untuk  membicarakan bahasa itu sendiri.  Linguistik menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara ilmiah.
 f)       Bahasa itu manusiawi
Bahasa itu manusiawi dalam arti bahwa  bahwa itu adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia.  Manusialah yang berbahasa  sedangkan hewan dan tumbuhan tidak.  Para hali biologi telah membuktikan bahwa berdasarkan sejarah evolusi,  sistem komunikasi binatang  berbeda dengan sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu kemudian menjadi pembenaran menamai manusia sebagai  homo loquens  atau  binatang yang mempunyai kemampuan berbahasa. Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola makan manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa.
 g)      Bahasa itu komunikasi
Fungsi terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah  bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsi sebagai  alat memperaret antar manusia dalam komunitasnya, dari komunitas  kecil seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana bentuk kegiatan sosial antar manusia tanpa bahasa.
Komunikasi mencakup makna  mengungkapkan dan menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau membaca. Komunikasi itu bisa beralangsung dua arah, bisa pula searah. Komunikasi tidak hanya  berlangsung antar manusia yang hidup pada satu jaman, komunikasi itu bisa dilakukan antar manusia yang hidup pada jaman yang berbeda, tentu saja  meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad SAW telah meninggal  pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya telah berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang.  Melalui buku, para pemikir sekarang bisa mengkomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang akan lahir di masa datang.  Itulah bukti bahwa bahasa menjadi jembatan komunikasi antar manusia.
Pengertian bahasa sangat bergantung pada dari sisi apa kita melihat bahasa.  Dalam pengertian umum bahasa diartikan sebagai  sistem lambang bunyi  berartikulasi  yang bersifat arbitrer dan  alat komunikasi .
 Para ahli  linguistik maupun komunikasi  mengartikan bahasa sebagai suatu sistem tanda atau  lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat  untuk bekerja sama, berinteraksi,  dan mengidentifikasikan diri.
Meskipun definisi tentang bahasa redaksinya dan penekanannya berbeda, tetapi ada ciri-ciri umum yang bisa menggambarkan hakikat bahasa.
 Ciri-ciri yang menjadi hakikat bahasa itu adalah  bahwa bahasa itu sistematik, beraturan atau berpola;  bahasa itu manasuka (Arbitrer), manasuka  atau acak ; bahasa itu vokal atau bahasa itu merupakan sistem bunyi; bahasa itu symbol; bahasa itu mengacu pada dirinya;  bahasa itu manusiawi;  dan  bahasa itu komunikasi


MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI


Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi diharapkan menjadi jalan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang dihadapi dan menjadi harapan bagi masyarakat sebagai momentum untuk menemukan cara baru dalam mendesain jalannya roda pemerintahan, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Gerakan ini menuntut perubahan struktur, kultur dan paradigma penyelenggaraan pemerintahan terutama pada birokrasinya yang sedikit banyak juga mempunyai kontribusi pada saat terjadinya krisis multidimensional.

Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai masih kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintahah masih belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitan krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi daripada tindakan nyata kearah perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap integritas pemerintahan sering dipertanyakan dengan banyaknya bentuk luapan ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, caci maki terhadap birokasi publik dan sebagainya. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa.

Aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal. Pertama, reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik (Gaffar, 2000). Kedua, reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dari pola sentralisasi yang bersifat paternalistik menjadi desentralisasi yang bersifat kemitraan (Rasyid, 2001). Ketiga, tuntutan untuk mewujudkan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan lain-lain (Edralin,1997).

Dalam upaya merespon dinamika dan berbagai tuntutan masyarakat tersebut lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 34 Tahun 2004. Keberadaan undang-undang tersebut memberikan porsi kewenangan yang besar pada daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri. Keberadaan UU ini juga menawarkan berbagai kemungkinan untuk diterapkannya paradigma baru dalam menata kembali sistem pemerintahan daerah dan menemukan cara-cara baru dalam menjalankan birokrasi publik dengan efisien, efektif, responsif, transparan dan akuntabel.

Daerah diberi peluang mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai. nilai-nilai keanekaragaman daerah yang pada akhirnya pemerintah daerah dapat menentukan disain dan model birokrasi publik yang tepat untuk merespon tuntutan, aspirasi dan dinamika yang terjadi dimasyarakat. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan itu bisa menciptakan sumber konflik baru antara pemerintah dengan masyarakat yang pada akhirnya bisa mengganggu legitimasi dan jalannya roda pemerintahan.

Untuk mendisain dan menentukan model birokrasi yang tepat maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar terhadap anatomi dan kode genetika birokrasi publik di Indonesia agar dapat terwujud birokrasi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi. Osborne dan Plastrik (1997) mengatakan dengan tegas dan menjadikannya sebagai … the first rule of reinvention : No new DNA, No Transformation. Terlebih lagi bagi daerah Kabupaten atau Kota dalam memasuki era otonomi daerah, yang mengharuskan mereka mandiri untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ditengah kompetisi global serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan peran birokrasi publik yang sebenarnya.

Saatnya untuk mereposisi peranan birokrasi publik menjadi birokrasi publik yang memiliki akuntabilitas, responsif, inovatif dan profesional serta berjiwa entreprenuer. Birokrasi daerah harus semakin kreatif dalam mengemban fungsi pemerintahan modern yaitu fungsi pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pola-pola lama dalam kultur birokrasi, kepemimpinan, struktur kelembagaan, manajemen sumber daya manusia dan sebagainya harus diorientasikan ke arah pembentukan birokrasi publik yang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berlangsung cepat dan mengglobal.

Konsep perubahan birokrasi publik pada dasarnya sudah diperkenalkan oleh para teoritisi seperti Hood dan Pollitt. Sebagai kritik terhadap kinerja birokrasi lama (Model Weberian) yang sudah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagaimana tesis yang dikemukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992) bahwa : Bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik………Mereka (birokrasi pemerintahan) menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Dan ketika dunia mulai berubah, mereka gagal menyesuaikan diri dengan perubahan itu………sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990-an yang cepat berubah, kaya informasi dan padat pengetahuan.

Perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teorisi tersebut merupakan perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public Management) sebagai paradigma baru dalam upaya mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, pejabatis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar bentuk manajemen publiknya (Hughes,1994). Pendekatan NPM ini bila ditarik benang merahnya (Hughes, 1994, Ferlie, et.al, 1996, Osborne dan Gaebler, 1992) menghendaki suatu birokrasi publik yang memiliki kriteria good governance dan enterpreneurial government dengan kemampuan memacu kompetisi, akuntabilitas, responsif terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai untuk mewujudkan good governance dan enterpreneurial government itu sendiri.

Mencermati banyaknya konsep dan paradigma tentang reformasi birokrasi serta penyelenggaraan pemerintahan yang telah dikemukakan para ahli, tetapi sangat jarang diikuti dengan kajian kritis mengenai perilaku, sikap dan persepsi elit birokrasi yang melaksanakan reformasi tersebut. Memang diakui telah terjadi perkembangan wacana tentang good governance dan enterpreneurial government dan menjadi perdebatan oleh banyak kalangan, baik para politisi, kalangan akademisi, praktisi pemerintahan maupun masyarakat dengan persepsi dan argumen yang berbeda-beda. Seharusnya elit birokrasi menyikapinya dengan kritis dan konstruktif serta mengadakan reformasi terlebih dahulu terhadap perilaku, mind set maupun budaya serta kompetensi yang harus dimilikinya dalam merespon tuntutan dan dinamika perubahan tersebut.

Penataan ulang, pembaruan, desain ulang, reformasi sektor pemerintahan dan manajemen pemerintahan baru, atau apapun namanya merupakan pekerjaan besar dan menuntut adanya pembaharu (inventors, pioneers) yang mempunyai semangat kewirausahaan (entrepreneur) sehingga dapat mentransformasikan sistem dan organisasi pejabatis menjadi organisasi yang bersifat wirausaha. Kesadaran, pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari para elit birokrasi mengenai semangat kewirausahaan di sektor publik dalam rangka mereformasi birokrasi harus menjadi agenda yang penting. Pemahaman yang keliru, parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif terhadap hal ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan sikap resistensi yang kuat dari elit birokrasi untuk mempertahankan status quo dan anti akan perubahan yang sebenarnya baik bagi masyarakat. Sudah saatnya kita berubah. Semoga, ...

PERBANDINGAN SISTEM BIKAMERAL INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi dari lembaga perwakilan rakyat (parlemen) di sebuah negara yang menganut trias politica merupakan sebuah keharusan. Hal ini dilakukan sebagai check and balances diantara lembaga lain, yaitu eksekutif dan yudikatif. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, dimana terdapat lembaga perwakilan rakyat yang sudah digagas sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Keinginan berparlemen di Indonesia muncul pada masa kolonial Belanda, dimana pada saat itu terbentuklah Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai sebuah lembaga perwakilan, meskipun pada tataran prakteknya Volksraad tidak dapat dibilang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena hak-hak sebagai sebuah parlemen tidak bisa terpenuhi.
Setelah kemerdekaan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat pun kemudian dilaksanakan oleh KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang pada mulanya komite ini dibentuk hanya untuk membantu tugas presiden sebelum terbentuk MPR dan DPR (sesuai dengan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945). Akan tetapi, muncul tuntutan-tuntutan agar KNIP diubah fungsinya sebagai lembaga parlemen. Pertanyaannya disini adalah mengapa harus ada MPR? Padahal sudah ada DPR, dimana DPR merupakan representasi dari rakyat sesuai dengan namanya. Alasan dibentuknya lembaga yang disebut sebagai MPR ini adalah karena adanya keinginan untuk membentuk sebuah lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat, dan di dalam lembaga tertinggi negara ini Presiden memberikan pertanggungjawabannya. Sedangkan DPR hanya merupakan wadah wakil dari partai politik saja yang lolos dalam pemilihan umum, tetapi tidak bisa menampung orang-orang non-parpol. Oleh karena itu, DPR belum bisa dikatakan sebagai perwakilan seluruh rakyat.
Kemudian pada masa RIS, parlemen di Indonesia menganut sistem bikameral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya adanya Senat dan DPR RIS. Senat mewakili negara-negara bagian sedangkan DPR RIS dianggap mewakili seluruh rakyat Indonesia. Sistem bikameral ini diterapkan di masa RIS karena pada masa itu Indonesia merupakan negara federal bukan negara kesatuan. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Pada masa UUDS 1950, Indonesia kemudian menganut sistem unikameral, dimana hanya ada satu kamar yaitu MPRS, sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1950 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR mempunyai fungsi dan wewenang yang sangat penting. MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara dan juga memilih serta melantik presiden dan wakil presiden. Anggota MPR ini terdiri dari anggota DPR dan golongan fungsional yang terdiri dari utusan daerah dan TNI. Pada masa orde baru ini memang bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pada kenyataannya, MPR malah sering dijadikan sebagai lembaga yang melegitimasi tindakan pemerintah.
Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, maka banyak tuntutan dari kalangan reformis untuk melakukan juga reformasi di dalam konstitusi. Tuntutan mereka adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, yang selama orde baru dianggap suatu hal yang sakral yang tidak boleh diotak-atik lagi karena merupakan karya para founding parents yang mempunyai nilai sejarah tak terhingga. Kemudian dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945, dimana UUD 1945 sebelum diamandemen dianggap terlalu koruptif dan terlalu otoritarian. Amandemen ini dilakukan sebanyak 4 kali pada periode 1999-2002. Amandemen UUD 1945 ini pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut menghasilkan sebuah lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen ini juga mengubah kedudukan MPR yang dulunya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Perubahan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia itu kemudian menimbulkan suatu wacana yang sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan. Apakah yang sebenarnya yang dianut oleh parlemen di Indonesia, apakah bikameral atau trikameral dengan melihat eksistensi dan fungsi dari tiga lembaga tinggi negara DPR, DPD, dan MPR tersebut?
Sebelumnya, lebih baik kita menilik sebentar bagaimana proses amandemen UUD 1945 terkait dengan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Perdebatan mengenai lemabga perwakilan ini ada dua hal, yaitu mengenai kedudukan MPR dan juga adanya pembentukan dua kamar (DPD sebagai sebuah kamar baru). Mengenai MPR, tekad kuat untuk meniadakan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dengan memanfaatkan MPR sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas terjadi di dalam proses amandemen UUD 1945 ini. Oleh karena itu, menurut fraksi-fraksi MPR di Panitia AdHoc III dan I ingin mereformasi MPR secara total.
Kemudian terjadi perdebatan-perdebatan mengenai MPR. Pertama, MPR tidak perlu dibentuk sebgai lembaga sebab kewenangannya bersifat insidental sehingga pimpinan MPR dapat dirangkap secara langsung secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD. Kedua, pendapat yang mengatakan masih perlunya MPR sebagai lembaga dengan pimpinan dan sekretariat tersendiri. Alasannya, Pasal 2 ayat (1) hasil perubahan mengatakan, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Jadi yang bergabung bukan lembaganya tetapi para anggotanya. Dengan demikian, MPR merupakan lembaga tersendiri. Maswadi Rauf mengusulkan MPR berubah menjadi semacam join session seperti Congress di Amerika Serikat yang bertemu dalam waktu tertentu, yaitu bergabung dalam satu rapat gabungan di MPR.
Terkait dengan kedudukan DPD sebagai kamar baru di dalam UUD 1945 hasil amandemen, pada proses pembentukannya ada juga perdebatan. Para tim ahli mengusulkan sistem perwakilan dua kamar atau bikameral, dimana DPR dan DPD memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam fungsi-fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Prof. Dr. Maswadi Rauf, Prof. Dr. Soewoto Mulyosudarmo, dan Prof. Dr. Ramlan Surbakti sama-sama mengusulkan agar DPD sebagai satu kamar kedudukannya sejajar dengan kamar DPR.
Lalu, bagaimanakah sebenarnya wajah parlemen di Indonesia saat ini? Bagaimana kedudukan MPR, DPR, dan DPD sebenarnya, apakah Indonesia menganut sistem unikameral, bikameral, ataukah trikameral? Untuk menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengetahui dahulu pengertian dari unikameral, bikameral, dan trikameral ini serta melihat kedudukan MPR, DPR, dan DPD serta fungsi-fungsinya.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Sistem Parlemen (unikameral, bikameral, dan trikameral)
            Unikameral terdiri dari satu kamar parlemen, sedangkan bikameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Dalam struktur parlemen nasional pada unikameral tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seeprti adanya DPR dan Senat, ataupun majelis tinggi dan majelis rendah. Fungsi dewan atau majelis legislatif dalam sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Bikameral biasanya terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (yang kemudian dalam penerapan di negara-negara penganut bikameral, namanya berbeda-beda, tidak mesti Majelis Rendah dan Majelis Tinggi). Salah satu alasan mengapa negara menganut sistem bikameral ini adalah adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif. Trikameral berarti bahwa struktur organisasi parlemen nasional terdiri atas tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Pada perkembangannya, bikameral dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk lagi. Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bicameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem bicameral yang lemah (soft bicameralism), sistem bicameral yang kuat (strong bicameralism), dan perfect bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan strong bicameralism terjadi apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat. Sedangkan perfect bicameralism terjadi ketika kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.
Menurut Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan wewenang, serta akan bersatu dalam sebuah joint session untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas).
            Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.

2.2. Berbagai bentuk sistem dua kamar

Federalisme

Beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, India, Brasil, Swiss, dan Jerman, mengaitkan sistem dua kamar mereka dengan struktur politik federal mereka. Di AS, Australia dan Brazil, misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif. Tidak peduli perbedaan jumlah penduduk antara masing-masing negara bagian. Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak dibayang-bayangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. (Di AS, kesepakatan yang menjamin pengaturan ini dikenal sebagai Kompromi Connecticut.)
Di majelis rendah dari masing-masing negara, pengaturan ini tidak diterapkan, dan kursi dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode yang menggabungkan prinsip kesetaraan demokratis dengan prinsip federalisme. Semua suara setara di majelis rendah, sementara semua negara bagian setara di majelis tinggi.
Dalam sistem India dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenal sebagai Rajya Sabha dan Bundesrat), bahkan lebih erat terkait dengan sistem federal, karena para anggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian India atau Bundesland Jerman. Hal ini pun terjadi di AS sebelum Amandemen ke-17.

Sistem dua kamar kebangsawanan

Di beberapa negara, sistem dua kamar dilakukan dengan mensejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan. Contoh terbaik adalah Majelis Tinggi (House of Lords) Britania Raya, yang terdiri dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa-sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah mendominasi politik Britania Raya, sementara majelis yang lainnya, Majelis Rendah (House of Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih. Sejak beberapa tahun lalu telah muncul usul-usul untuk memperbarui Majelis Tinggi, dan sebagian telah berhasil. Misalnya, jumlah hereditary peers (berbeda dengan life peers) telah dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang, dan kekuasaan Majelis Tinggi untuk menghadang undang-undang telah dikurangi.
Sebuah contoh lain dari sistem dua kamar kebangsawanan adalah House of Peers Jepang, yang dihapuskan setelah Perang Dunia II.