berbagi_pengetahuan
berbagi pengetahuan apa saja, disini disertakan pengetahuan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Selasa, 04 September 2012
BLOG TIDAK BISA DI COPY/PASTE
Begitu banyak blog yang ada di dunia ini...
tapi tidak sedikit yang punya isi yang sama dengan blog orang lain..
budaya mencontek (copy-paste) sulit hilang dari dunia blogger, apalagi kita sulit menerka siapa yang mencontek siapa...
Salah satu cara agar dapat menghentikan budaya tersebut adalah dengan mengunci yakni menggunakan script pada blog kita,,,
Berikut adalah caranya...
Membuat Blog Tidak Bisa Dicopy Paste
1. Login ke Blogger.
2. Di halaman Dasbor, kita pilih Design/Rancangan.
3. Kemudian pilih Edit HTML
4. Akan ada pertanyaan, tekan/klik saja OK
5. Beri tanda centang pada Expand Template Widget
6. Taruh kode berikut di atas kode </head>
<script type="text/javascript"> function disableSelection(target){
if (typeof target.onselectstart!="undefined") //IE route
target.onselectstart=function(){return false}
else if (typeof target.style.MozUserSelect!="undefined") //Firefox route
target.style.MozUserSelect="none"
else //All other route (ie: Opera)
target.onmousedown=function(){return false}
target.style.cursor = "default"
}
</script>
6. Lalu taruh kode berikut di bawah kode </head>
<script type="text/javascript"> disableSelection(document.body) //disable text selection on entire body of page </script>
7. Simpan Template jika sudah selesai.
Jumat, 25 Mei 2012
Imperialisme dan Kolonialisme
Istilah
imperialisme yang diperkenalkan di Perancis pada tahun 1830-an, imperium
Napoleon Bonaparte. Pada tahun 1830-an, istilah ini diperkenalkan oleh penulis
Inggris untuk menerangkan dasar-dasar perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh
Kerajaan Inggris. Orang Inggris menganggap merekalah yang paling berkuasa (Greater
Britain) karena mereka telah banyak menguasai dan menjajah di wilayah Asia
dan Afrika. Mereka menganggap bahwa penjajahan bertujuan untuk membangun
masyarakat yang dijajah yang dinilai masih terbelakang dan untuk kebaikan
dunia.
Imperialisme
merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi dan politik
negara-negara kaya dan berkuasa , mengawal dan menguasai negaranegara lain yang
dianggap terbelakang dan miskin dengan tujuan mengeksploitasi sumber-sumber
yang ada di negara tersebut untuk menambah kekayaan dan kekuasaan negara
penjajahnya.
Imperialisme
menonjolkan sifat-sifat keunggulan (hegemony) oleh satu bangsa atas bangsa
lain. Tujuan utama imperialisme adalah menambah hasil ekonomi.[1]
Negara-negara imperialis ingin memperoleh keuntungan dari negeri yang mereka
kuasai karena sumber ekonomi negara mereka tidak mencukupi. Selain faktor
ekonomi, terdapat satu kepercayaan bahwa sebuah bangsa lebih mulia atau lebih
baik dari bangsa lain yang dikenal sebagai ethnosentrism, contoh bangsa
Jerman (Arya) dan Italia. Faktor lain yang menyumbang pada dasar imperialisme
adalah adanya perasaan ingin mencapai taraf sebagai bangsa yang besar dan
memerintah dunia, misalnya dasar imperialisme Jepang.
Dasar
imperialisme awalnya bertujuan untuk menyebarkan ide-ide dan kebuadayaan Barat
ke seluruh dunia. Oleh karena itulah, imperialisme bukan hanya dilihat sebagai
penindasan terhadap tanah jajahan tetapi sebaliknya dapat menjadi faktor
pendorong pembaharuan-pembaharuan yang dapat menyumbang kearah pembinaan sebuah
bangsa seperti pendidikan, kesehatan, perundang-undangan dan sistem
pemerintahan.
Sarjana
Barat membagi imperialisme dalam dua kategori yaitu imperialisme kuno dan
imperialisme modern. Imperialisme kuno adalah negara-negara yang berhasil
menaklukan atau menguasai negara-negara lain, atau yang mempunyai suatu
imperium seperti imperium Romawi, Turki Usmani, dan China, termasuk spanyol,
Portugis, Belanda, Inggris dan Perancis yang memperoleh jajahan di Asia,
Amerika dan Afrika sebelum 1870, tujuan imperialisme kuno adalah selain faktor
ekonomi (menguasai daerah yang kaya dengan sumber daya alam) juga termasuk
didalamnya tercakup faktor agama dan kajayaan .
Sedangkan
Imperialisme modern bermula setelah Revolusi Industri di Inggris tahun 1870-an.
Hal yang menjadi faktor pendorongnya adalah adanya kelebihan modal dan Barang
di negara-negara Barat. Selepas tahun 1870-an , negara-negara Eropa
berlomba-lomba mencari daerah jajahan di wilayah Asia, Amerika dan Afrika.
Mereka mencari wilayah jajahan sebagai wilayah penyuplai bahan baku dan juga
sebagai daerah pemasaran hasil industri mereka.
Dasar
Imperialisme ini dilaksanakan demi agama, mereka menganggap bahwa menjadi tugas
suci agama untuk menyelamatkan manusia dari segala macam penindasan dan
ketidakadilan terutama di negara-negara yang dianggap terbelakang seperti para
misionaris Kristen yang menganggap misi penyelamat ini sebagai The White Man
Burden Diantara faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya imperialisme
adalah faktor dan ekonomi
Koloni
merupakan negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing.
Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama
kolonialisme adalah kepentingan ekonomi.Kebanyakan koloni yang yang dijajah
adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan untuk mendapatkan bahan
mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri di Inggris.
Istilah
kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas sebuah wilayah
atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk mendapatkan sebuah
wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai.[2]
Usaha untuk mendapatkan wilayah biasanya melalui penaklukan. Penaklukan atas
sebuah wilayah bisa dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari
penguasa lokal, untuk memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka
kemudian mulai campur tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan
biasanya mereka akan berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan
mereka. Negara yang menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah
jajahannya, meliputi aspek kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan
sebagainya. Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari
Portugis berlayar ke india pada tahun 1498. Di awali dengan pencarian jalan ke
Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan
dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda
berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha mengusainya.
Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih
menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan untuk
menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya. Ini karena kuasa
kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada
pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka.
Kolonialisme
berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam
tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang
memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua,
setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an
hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak
pertikaian kuasa-kuasa imperialis.
Konsep Kekuasan Jawa
Konsep kekuasaan
Jawa, dalam beberapa
hal memiliki
ciri-ciri yang sama dengan
hampir kebanyakan konsep
kekuasaan dalam masyarakat
tradisional, yakni konsep
dewa raja.
Konsep ini
pada dasarnya dimaksudkan,
bahwa raja sebagai kepala
pemerintahan dan sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya, bahwa
konsep kekuasaan Jawa khususnya Mataram, mencakupi
kekuasaan yang bersifat
religius (keagamaan) dari
kepercayaan yang pernah ada. Adanya konsep kekuasaan, bahwa
raja adalah seorang
yang sakti dan kesaktian adalah
salah satu kepercayaan
yang biasa dianut
oleh masyarakat primitif setelah masuknya Hindu ke Indonesia,
khususnya Jawa, seorang
raja mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa,
keturunan dewa, maupun
penjelaman dewa, sebagai
salah satu cara yang ditempuh
guna melegitimasikan kekuasaannya.
Ketika
agama Islam
masuk ke Indonesia
dan menjadi salah
saut agama yang mempunyai
penganut sangat besar,
para raja juga
berusaha memanfaatkan pengaruh
keagamaan ini guna
memperkokoh kedudukannya, dengan mengambil garis
keturunan (silsilah) dari
nabi-nabi yang sesuai dengan
kepercayaan agama Islam
ataupun mengambil garis
keturunan dari wali-wali penyebar agama Islam. Perbedaan
ini tentu saja
disebabkan karena Indonesia
khususnya Jawa, memiliki latar belakang
budaya yang berlainan
bila dibandingkan dengan
masyarakat lainnya. Adanya perbedaan
ini menunjukkan bahwa
konsep kekuasaan Jawa
di samping memiliki
persamaan dengan masyarakat
atau bangsa lain, sekaligus juga
memiliki perbedaan yang
merupakan ciri khas masyarakat Jawa. Mengingat masyarakat
Jawa merupakan mayoritas
di Indonesia, pengaruh konsep kekuasaan
Jawa tentunya juga
mempengaruhi konsepkekuasaaan
masyarakat lainnya di Indonesia.
Adanya kenyataan
bahwa elit politik
di Indonesia umumnya
berasal dari suku
bangsa Jawa, maka tidak disangkal
lagi bahwa kehidupan
pemerintahan ataupun kenegaraan
di Indonesia diwarnai
oleh budaya Jawa
dengan berbagai
ciri feodalismenya. Budaya Jawa
adalah budaya yang sangat feodal dan kefeodalannya
sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari latar
belakang sejarahnya. Bila
dibandingkan dengan suku bangsa
lainnya di
Indonesia, maka masyarakat Jawa adalah yang paling banyak mendapat pengaruh dari berbagai budaya asing. Terlebih lagi, hampir
semua pusat kekuasaan pemerintahan
yang ”berskala nasional”
umumnya berpusat atau terdapat di Jawa,
sehingga Jawalah yang
paling banyak dipengaruhi dan sekaligus banyak berbagai sektor sosial budaya masyarakat di Indonesia.
Budaya Jawa
yang sangat feodal
sebenarnya kurang
cocok dengan alam
demokrasi di Indonesia, namun demikian feodalisme
Jawa ini ternyata tidak
selalu diutamakan dalam
kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena adanilai
moral (etika) lain
yang sekaligus menjadi semacam
isolator yang menghambat berkembangnya
feodalisme ini. Memang
pernah, dulu
ketika kekuasaan Mataram masih berperan dalam bidang politik di Indonesia, budaya Sunda yang
sebenarnya dan sebelumnya lebih
demokratispun sempat difeodalisasikan oleh
budaya Jawa.
Bahasa Sunda yang semula tidak mengenal undak-usuk, telah mendapat
warna baru yang semakin
mempertegas dan memperjelas
adanya tingkatan-tingkatan
sosial. Dalam bahasa Sunda pun kemudian juga
dikenal tingkatan bahasa(undak-usuk) dan
berbagai etika Jawa dengan segala
stratifikasi sosialnya. Namun
demikian, hal ini
tidak perlu dicemaskan oleh berbagai
suku bangsa lainnya, mengingat
orang Jawa juga memiliki kelebihan
lainnya, yakni sikap
toleran yang kemungkinan
sukar dicari bandingannya pada suku bangsa lainnya. Toleransi yang
besar yang dimiliki
oleh orang Jawa,
bukan saja toleran terhadap budaya lain, tetapi juga
terhadap agama lain.
Sikap toleran semacam
ini dapat dilihat
dari latar belakang sejarah
budaya Jawa, dari
sejak masuknya bangsa
Barat dengan agama Nasraniya dan budaya Baratnya. Dalam keluarga Jawa, tidak merupakan
hal aneh jika
salah satu anggota keluarganya menganut
agama lain yang
berbeda dengan agama kedua orang tuanya. Demikian
juga, tidak merupakan hal
aneh jika dalam keluarga Jawa
terdapat anggota
keluarganya yang, menikah dengan suku bangsa lain, bahkan dengan bangsa lainnya. Hal
semacam ini kemungkinan
merupakan hal yang
sangat sulit didapat
ataudiketemukan dalam lingkungan
keluarga dari suku bangsa lainnya.Dari pengalaman
historis suku bangsa Jawa sejak
masuknya Hindu ke
Indonesia, membuktikan adanya
sikap toleran yang
demikian. Bangsa Indonesia (Jawa) yang
sebelumnya menganut kepercayaan animisme-dinamisme dapat menerima pengaruh agama Hindu
dengan berbagai etika
dan budayanya, sehingga agama ini dapat berkembang
pesat di Jawa bila dibandingkan
dengan di daerah
lain yang memiliki budaya lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
bangunan keagamaan
Hindu yang diketemukan di
berbagai daerah di
pulau Jawa, khususnya
di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Masuknya
agama Budha ke Indonesia (Jawa) pun, tidak
mengalami hal sulit, dan bahkan mendapat
sambutan yang sangat menggembirakan
dari orang Jawa.
Hal ini bukan
sajaditandai atau dibuktikan
dengan diketemukannya berbagai
bangunan keagamaan agama Budha, seperti Candi
Borobudur yang terkenal itu, tetapi juga
diketemukan suatu kenyataan bahwa di Jawa
telah terjadi akulturasi
antara budaya Hindu-Budha
dan Jawa, demikian
juga terjadinya sinkretisme
antara agama
Hindu-Budha-Anisme/Dinamisme (Jawa). Diketemukannya patung hari-hara yang
merupakan perwujudan patung
Hindu-Budha, yang dalam
pelaksanaan ritualnya sudah
barang tentu mendapat ”corak Jawa” pula. Selain masuknya agama Hindu dan Budha
ke Indonesia
(Jawa), kemudian masuk
pula orang Arab
dengan agama Islamnya.
Agama Islam diterima
secara terbuka oleh orang
Jawa, bahkan
kemudian mampu berkembang pesat di Jawa dan juga
di berbagai daerah
di Indonesia. Agama Islam di Indoneisa
telah menjadi agama yang bukan
saja terbesar di
Jawa, tetapi juga terbesar di dunia.
Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah dari
suku bangsa Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk agama Islam-pun adalah terdiri dari
orang-orang Jawa.
Pada waktu bangsa
Barat (Portugis, Spanyol
dan Belanda) dengan
budaya Barat dan
agama
Nasraninya masuk ke Indonesia, juga diterima
secara terbuka oleh
orang Jawa. Terjadinya berbagai
pertikaian dengan bangsa Barat sebenarnya bukan
disebabkan oleh perbedaan agama atau budaya
Baratnya, tetapi dan
terutama disebabkan karena
adanya sikap sewenangnya-wenang yang
dilakukan oleh para pemuka Barat terhadap
bangsa Indonesia (Jawa).
Kalau dalam sejarah
perlawanan terhadapBarat diketemukan
adanya perlawanan yang bersifat
rasialis ataupun bersifat
keagamaan, sebenarnya hanya
merupakan pemicu perlawanan
saja. Sebab dalam
gerakan sosial, termasuk juga
terjadinya perlawanan terhadap
bangsa Barat yang semula
bersifat politik, dapat saja
di beri ”baju” lain, yakni ”baju” keagamaan ataupun kebangsaan. Demikian juga sebaliknya. Seperti pernah
dikemukakan sebelumnya, sekalipun orang
Jawa mendapat berbagai pengaruh
dari berbagai budaya
lain, namun corak ataupun warna
”kejawaanya” akan selalu
nampak, yang bahkan
seringkali lebih dominan
dibandingkan dengan pengaruh
dari luar itu sendiri. Dengan demikian, kebesaran (mayoritas) suku
bangsa Jawa juga
tetap memiliki peran besar yang positif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, sekalipun tidak bisa dipungkiri tentunya
juga memiliki segi-segi
negatifnya. Mayoritas suku
bangsa Jawa di Indonesia yang terdiri dari
banyak suku bangsa dan
budaya, bukan saja
memberikan manfaat yang sangat positif, tetapi juga manfaat yang strategis
bagi terciptanya kesatuan dan
persatuan bangsa. Kalau bahasa
Indonesia dibanggakan sebagai ”bahasa
persatuan”, maka suku bangsa Jawa
juga dapat
dan berfungsi demikian.
Bisa
dibayangkan seandainya
di Indonesia ini
setiap suku bangsa
memiliki anggapan bahwa suku bangsanyalah yang paling baik paling
besar, atau paling tidak
setiap suku bangsa
sama baiknya dan
sama besarnya, pertikaian antar etnis seperti yang sering terjadi
di berbagai negara
seperti India, Afrika
Selatan, atau negara-negara
Afrika lainnya,
pasti sering terjadi.
Dengan
demikian, suku bangsa Jawa dapat disebut sebagai
suku bangsa persatuan,
karena dengan adanya
suku bangsa ini persatuan dan
kesatuan nasional
dapat tetap dipertahankan. Sehingga tidak
menutup kemungkinan, bahwa nantinya
nasionalisme justru tumbuh
kembang dari
lingkungan keluarga Jawa yang sekarang ini sudah
berbaur dengan banyak
suku bangsa lainnya, bahkan
juga dengan banyak
bangsa. Sifat fleksibel
dan toleran yang
dimiliki suku bangsa Jawa,
membawa dampak positif
bagi terciptanya kesatuan
nasional. Hal semacam
ini jarang
dikemukakan pada suku bangsa lainnya di Indonesia,
sebagai contoh misal di
kota Medan para penganut
agama Hindu atau Budha semuanya berasal dari
keturunan asing seperti Tamil, India dan
lain-lain. Penduduk asli setempat
tidak ada yang
menganut agama tersebut, hal ini berbeda misalnya
dengan orang Jawa.
Sekalipun di wilayah Jawa tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa
Timur mayoritasnya berbagai
Islam, tetapi di antara
mereka terdapat
juga pemeluk agama lain, seperti agama Hindu dan Budha. Kelemahan yang dimiliki oleh budaya Jawa yang
satu akan dapat
ditanggulangi oleh kelebihan etika
Jawa yang lain lagi, sehingga
antara kekurangan
dan kelebihannya itu
dapat dicari suatu
alternatif sikap, baik
dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maupun dalam berbagai
sektor kehidupan lainnya. Feodalisme Jawa dapat diatasi oleh sikap tenggang rasa, yang intinya mencerminkan perlunya sikap demokratis terhadap
sesamanya. Sikap yang demikian ini selain
mengajarkan perlunya sikap demokratis,
juga sikap dan
sifat adil guna diperoleh
suatu kebenaran dalam
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sejalan dengan semakin
meluasnya pendidikan di
Indonesia, maka feodalisme
Jawa tentunya juga
akan semakin
menipis, sehingga memberikan peluang yang sangat baik bagi semakin terciptanya iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi sikap feodal ini umumnya hanya dimiliki oelh generasi
itu, yang sebentar lagi
sudah akan berakhir
perannya dalam kancah
kehidupan politik maupun pemerintahan di Indonesia, dan digantikan oleh
generasi muda
yang sudah banyak
mendapat didikan yang
lebih demokratis dibandingkan dengan pendahulunya.
Terkikisnya
sikap feodal Jawa ini nantinya bukan
hanya disebabkan oleh
meningkatnya pendidikan di
Indonesia yang semakin meluas dan semakin maju, tetapi tidak kalah pentingnya adalah semakin
meluasnya ajaran keagamaan, khususnya
agama Islam yang
mengajarkan paham keadilan,
kesamaan derajat umat
manusia. Hal ini
sejalan dengan ajaran agama
Islam dari salah
satu ayat ajarannya,
yang antara lain mengatakan:
”bahwa di hadapan
Allah semua manusia itu sama, yang membedakannya
adalah amal dan
ibadahnya”. Dari berbagai kenyataan semacam
ini, sebenarnya tidak
perlu dikhawatirkan akan timbulnya ”Javanisasi” yang
akan menghilangkan corak
atau warna budaya
lainnya, tetapi seharusnya justru
budaya lain akan
terwadahi oleh
budaya Jawa yang terkenal sangat toleran diberbagai bidang,
baik masalah kesukuan, keagamaan,
maupun kebudayaan dan antar golongan (SARA=Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Toleransi budaya
ataupun orang Jawa
ini akan semakin
berkembang sejalan dengan semakin
besarnya jumlah orang Jawa,
karena suatu
masyarakat yang semakin besar maka rasa
kedaerahan ataupun
kesukuannya juga akan
semakin melemah. Hal
ini berbeda misalnya dengan
suku bangsa minoritas,
maka rasa kesukuannya justru akan semakin menguat, dan
cenderung bersifat radikal,
tertutup dan rasial.
Sebagai contoh etnis Cina
di Indonesia, atau
dibanyak negara. Demikian juga bangsa Yahudi di Israel, atau di berbagai negara di
dunia.
copy link : seni dan budaya jawa
http://www.mediafire.com/view/?fx3co45fj0ecjxp
Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945
Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945
Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam
Lembaga Perwakilan Indonesia
Oleh: Soebardjo
Dosen Fakultas Hukum UAD
e-mail: -
Abstract
Formally, Indonesia adopts bicameral system as there are the House of Representatives
(DPR) and the Regional Representatives Council (DPD). However, structurally,
it could be deemed ad tricameral, as there are three representative bodies
available; People’s Consultative Assembly (MPR), House of Representatives (DPR)
and the Regional Representatives Council (DPD). Thus, practically, Indonesian
parliamentary system is unicameral since the authority for legislation lies in the hand
of the members of the House of Representatives (DPR).
copy link :
http://www.mediafire.com/view/?c1beg5cefnf777c
Kamis, 24 Mei 2012
muslim demokrat - riview
Nama : Immanuel A Sihotang
NIM : 070906035
Departemen : Ilmu Politik
Tugas Review
(buku : Muslim Demokrat –
Saiful Mujani)
Dalam buku ini ditunjukkan secara sistematis hubungan
antara Islam dan demokrasi, dengan mendefinisikan Islam secara empiris menurut
dimensi-dimensi Islam dan komponen-komponen demokrasi, yakni budaya demokrasi
(modal sosial, toleransi politik, keterlibatan politik, sikap percaya pada
instisusi politik) dan partisipasi politik.
Sejarah perkembangan ideologi politik umat manusia akan
berakhir dengan sistem demokrasi. Begitu prediksi Francis Fukuyama dalam
bukunya The End of History and The Last Man (1992). Demokrasi telah terbukti
sebagai ideologi yang paling banyak dianut oleh negara-negara di seluruh dunia
era pasca-Perang Dingin. Tetapi hal itu tidak terjadi di negara-negara yang
penduduknya mayoritas Muslim terutama di negara-negara Arab atau Timur Tengah
yang dianggap sebagai pusat berkembangnya kebudayaan Islam. Negara – negara
muslim pada umumnya gagal menerapkan nilai-nilai demokratis. Bahkan, sebagian
besar negara muslim sampai kini masih menerapkan sistem pemerintahan yang
represif dan otoritarian.
Index of Political Right and
Civil Liberty yang dikeluarkan Freedom House (2002) menunjukkan bahwa sepanjang
tiga dekade terakhir hanya ada satu negara Muslim yang mampu membangun
demokrasi secara penuh selama lebih dari lima
tahun, yakni Mali di Afrika. Dua belas negara Muslim lainnya termasuk kedalam
kelompok semi demokratis. Sisanya, 35 negara, bersifat otoritarian. Lantas,
mengapa demokrasi jarang ditemukan di negara-negara yang penduduknya mayoritas
Muslim, padahal era demokrasi kian mengglobal? Mengapa sistem demokrasi sangat
sulit berkembang dan tidak terkonsolidasikan dengan kukuh di negara-negara
Muslim? Apakah fenomena ini terkait dengan Islam?
Saiful Mujani
menampilkan sejumlah argumen kesarjanaan Barat mengenai pandangannya terhadap
hubungan antara Islam dan demokrasi. Kedourie, Lipset, Gellner, Mardin, Huntington , dan Lewis
percaya bahwa Islam bertanggung jawab atas langkanya demokrasi di negara-negara
Muslim. Mereka juga percaya bahwa semakin kuat Islam dalam suatu masyarakat,
demokrasi semakin tidak mungkin dapat dijumpai di masyarakat tersebut. Huntington (1997),
misalnya, mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha mengenalkan demokrasi ke
dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Itu tidak
lain karena watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep
leberalisme Barat.
Hal yang sama dikatakan oleh Elie Kedourie (1992),
seperti yang dikutip buku ini, bahwa peradaban Islam bersifat unik; kaum muslim
bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup pada dunia luar.
Baginya, peradaban seperti itu meghambat kaum muslim untuk mempelajari dan
menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban lain (h.
13).
Buku ini menarik karena Saiful Mujani tidak hanya
menampilkan hipotesis para sarjana Barat yang memandang hubungan negatif antara
Islam dan demokrasi, tapi juga menyajikan pandangan yang berbeda. Tessler,
misalnya, mengatakan bahwa praktik keagamaan umat Islam dan nilai politik tidak
memiliki hubungan negatif yang berarti dengan demokrasi.
Saiful Mujani memilih Indonesia sebagai studi kasus
penulisan buku ini. Menurut dia, studi tentang hubungan antara Islam dan
demokrasi di Indonesia
sudah banyak, namun belum cukup dilakukan secara sistematis. Selain itu, karena
Indonesia
merupakan negara Muslim terbesar di dunia, kaum Muslimnya memiliki bentuk
keyakinan yang sangat beragam.
Dalam kesimpulan penelitian ini, Mujani memperoleh satu
kesimpulan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Keduanya justru
saling mendukung. Bahkan, Islam sangat mendorong pembentukan politik demokrasi.
Apalagi sesudah Orde Baru runtuh pada 1998, masyarakat Islam sangat aktif
melibatkan diri dalam dinamika politik. Ini terlihat dari tumbuhnya partai
politik berbaju Islam. Misalnya PKB, PBB, PKS, PKNU, dsb.
Secara kualitatif, munculnya partai-partai yang berlabel
Islam itu memberi warna dan varian tersendiri bagi iklim politik di Indonesia.
Partai-partai tersebut hampir tidak ada (untuk menyebutkan tidak ada) yang
bercorak atau mempunyai paradigma untuk mendirikan negara Islam (khilafa) yang
terkesan otoriter. Islam hanya sebagai agama (prilaku, etika), bukan termasuk
komunitas institusi negara. Artinya, partai politik yang bebaju Islam ingin
menciptakan politik yang demokratis yang memberi kesejahteraan pada rakyat.
Oleh sebab itu, menurut Mujani, demokrasi harus dipahami melalui dua cara.
Pertama, sebagai sebuah kompleks budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur
saling percaya antar sesama warga, jaringan keterlibatan kewargaan, toleransi,
keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap
kinerja demokrasi, serta dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni
negara-bangsa (nation-state). Kedua, sebagai partisipasi politik, demokrasi
merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting
hingga protes oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan
publik.
Studi demokrasi melalui pendekatan dua cara tersebut,
oleh Mujani, dipandang lebih sistematis dan analitis dalam mengkaji hubungan
antara Islam dan demokrasi. Sebab, budaya politik dipandang sebagai orientasi
psikologis terhadap objek sosial, atau sebagai sikap terhadap sistem politik
dan terhadap diri sebagai aktor politik. Orientasi ini termasuk pengetahuan
atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap
sistem politik secara umum, input dan output politik, dan perasaan seseorang
dalam sistem politik. Variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi
partisipasi politik dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada
gilirannya mempengaruhi stabilitas demokrasi.
Buku ini menyuguhkan kajian sistematis dan empiris
mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi, terutama mengenai prilaku politik
masyarakat Islam Indonesia .
Karena itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh para akademisi politik,
pengamat politik, dan kalangan umum yang tertarik untuk memahami lebih dalam
lagi hubungan antara budaya politik Islam dan demokrasi.
POLA PENGEMBANGAN PARTAI GOLKAR
Segala sesuatu yang tertulis pada data ini merupakan hasil dari tulisan laporan PKL oleh mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara
NB : Jangan digunakan sembarangan...!!
jadikan sebagai referensi dan pertimbangan bagi tugas anda, bukannya di copy-paste kemudian di kumpulkan lagi...
:D
copy link::D
kata pengantar dan daftar isi : http://www.mediafire.com/view/?52q9lfp5kz5bn9j
isi : http://www.mediafire.com/view/?5jxn6464wgiwg7n
Pengertian Bahasa
Pengertian Bahasa
Apa
itu bahasa ? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, ada baiknnya jika kita memperhatikan beberapa pengertian bahasa tersebut berdasarkan pengertian umum dengan melihat kamus
umum, sebagai istilah linguistik dengan
melihat kamus linguistik, dan menyimak
aneka pendapat para ahli dari latar belakang yang berbeda.
Dalam
kamus umum, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 66) bahasa
diartikan sebagai sistem lambang
bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan
konvensional yang dipakai sebagai alat
komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
Kamus
Webster mendefinisikan bahasa sebagai A systematic means of communication ideas or feeling by
the use of communication sign, sounds, gestures, or mark having understood
meanings.
Dari
dua makna umum tentang bahasa di atas,
ada persamaan yang jelas. Persamaan itu adalah bahwa bahasa ditempatkan
sebagai alat komunikasi antar manusia
untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi
baik yang berupa suara, gestur (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan.
Sebagai
sebuah istilah dalam linguistik, Kridalaksana (1993:21) mengartikannya sebagai
sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota
suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Pei dan Gaynor (1975:119) mengatakan bahwa bahasa adalah A system of
communication by sound, i.e., through the organs of speech and hearing, among
human beings of certain group or community, using vocal symbols possessing
arbitrary conventional meaning.
Dari
pandangan ahli linguistik seperti Kridalaksana, Pei, dan Gaynor di atas, bahasa
ditekankan sebagai sebuah sistem lambang. Istilah sistem mengandung makna adanya keteraturan dan
adanya unsur-unsur pembentuk.
Jalaludin
Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi, melihat bahasa dari dua sisi
yaitu sisi formal dan fungsional. Secara
formal, bahasa diartikan sebagai semua
kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara
fungsional, bahasa diartikan sebagai
alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Definisi yang diajukan Rakhmat ini tampak
mencoba merangkum pengertian umum dengan
pendapat linguis. Istilah sisi formal
yang dikemukakan Rakhmat mirip dengan
istilah sistem, sedangkan sisi fungsional
sejalan dengan bahasa sebagai alat komunikasi.
Pemahaman
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi, juga didukung oleh seorang
sosiolinguis bernama Ronald Wardhaugh.
Ia menyatakan bahwa bahasa adalah A System of aribtrary vocal symbols used for
human communication
Penggambaran
yang lebih luas tentang bahasa pernah disampaikan oleh bapak linguistik modern,
Ferdinan de Saussure. Ia menjelaskan
bahasa dengan menggunakan tiga istilah
yaitu langage, Langue, dan parole. Ketiga istilah dari bahasa Prancis
itu dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan satu istilah saja yaitu
‘bahasa’. Langage adalah sistem lambang bunyi yang digunakan
untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal. Langage ini bersifat
abstrak. Istilah langue mengacu pada
sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat
tertentu. Sedangkan parole adalah bentuk konkret langue yang digunakan dalam
bentuk ujaran atau tuturan oleh anggota masyarakat dengan sesamanya (Chaer,
1995:39-40; Chambers, 95:25;
Verhaar,81:1).
Definisi
lain tentang bahasa, antara lain bisa kita dapat dari Finochiaro. Meskipun
tidak terlalu berbeda dengan definisi-definisi di atas, ia memasukkan kaitan bahasa sebagai bentuk budaya. Ia
menyatakan bahwa Language is a system of arbitrary, vocal
sumbols which permits all peaple in a given culture, or other peaple who have
learned the system of the culture, to
communicate or to interact.
Dari
sudut pandang psikologi, karena bahasa itu sebuah sistem simbol terstruktur,
maka bahasa bisa dipakai sebagai alat berpikir, merenung, bahkan untuk memahami
segala sesuatu. De Vito menyatakan bahwa bahasa adalah A potentially self-refleksive, structired
system of symbols which catalog the objects, events, and relation in the world
.
Dengan
melihat deretan definisi tentang bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa cukup
banyak dan bervariasi definisi tentang bahasa yang bisa kita temui. Variasi itu
wajar terjadi karena sudut pandang
keilmuan mereka yang juga berbeda. Meskipun demikian, variasi tersebut terletak pada penekanannya
saja, akan tetapi hakikatnya sama. Ada
yang menekankan bahasa pada fungsi komunikasi, ada yang mengutamakan bahasa
sebagai sistem, ada pula yang
memposisikan bahasa sebagai alat. Meskipun demikian, ada persamaan dalam
hal-hal prinsip, yang oleh Alwasilah (1993: 82-89) disebut dengan hakikat
bahasa, sebagaimana akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
2. Hakikat Bahasa
a) Bahasa itu sistematik,
Sistematik
artinya beraturan atau berpola. Bahasa memiliki sistem bunyi dan sistem makna
yang beraturan. Dalam hal bunyi, tidak sembarangan bunyi bisa dipakai sebagai suatu simbol dari suatu rujukan (referent) dalam
berbahasa. Bunyi mesti diatur sedemikian rupa sehingga terucapkan. Kata pnglln tidak mungkin muncul secara
alamiah, karena tidak ada vokal di dalamnya.
Kalimat Pagi ini Faris pergi ke
kampus, bisa dimengarti karena polanya sitematis, tetapi kalau diubah
menjadi Pagi pergi ini kampus ke Faris tidak bisa dimengarti karena melanggar
sistem.
Bukti
lain, dalam struktur morfologis bahasa Indonesia, prefiks me- bisa berkombinasi
dengan dengan sufiks –kan dan –i seperti
pada kata membetulkan dan menangisi. Akan tetapi tidak bisa berkombinasi dengan
ter-. Tidak bisa dibentuk kata mentertawa, yang ada adalah mentertawakan atau
tertawa. Mengapa demikian ? Karena bahasa itu beraturan dan berpola.
b)
Bahasa itu manasuka (Arbitrer)
Manasuka atau arbiter adalah acak , bisa muncul tanpa
alasan. Kata-kata (sebagai simbol) dalam bahasa
bisa muncul tanpa hubungan logis dengan yang disimbolkannya. Mengapa makanan khas yang berasal dari Garut itu disebut dodol
bukan dedel atau dudul ? Mengapa
binatang panjang kecil berlendir itu kita sebut cacing ? Mengapa
tumbuhan kecil itu disebut rumput, tetapi mengapa dalam bahasa Sunda disebut
jukut, lalu dalam bahasa Jawa dinamai suket ? Tidak adanya alasan kuat untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas atau yang sejenis dengan pertanyaan tersebut.
Bukti-bukti
di atas menjadi bukti bahwa bahasa memiliki sifat arbitrer, mana suka, atau
acak semaunya. Pemilihan bunyi dan kata
dalam hal ini benar-benar sangat bergantung pada konvensi atau kesepakatan
pemakai bahasanya. Orang Sunda menamai
suatu jenis buah dengan sebutan cau, itu terserah komunitas orang Sunda,
biarlah orang Jawa menamakannya gedang, atau orang Betawi menyebutnya pisang.
Ada memang kata-kata tertentu yang bisa
dihubungkan secara logis dengan benda yang dirujuknya seperti kata berkokok untuk bunyi ayam, menggelegar untuk
menamai bunyi halilintar, atau mencicit untuk bunyi tikus. Akan tetapi,
fenomena seperti itu hanya sebagtian kecil
dari keselurahan kosakata dalam suatu bahasa.
c)
Bahasa itu vokal
Vokal
dalam hal ini berarti bunyi. Bahasa
mewujud dalam bentuk bunyi. Kemajuan
teknologi dan perkembangan kecerdasan
manusia memang telah melahirkan bahasa dalam wujud tulis, tetapi sistem tulis
tidak bisa menggantikan ciri bunyi dalam bahasa. Sistem penulisan hanyalah alat untuk menggambarkan arti di atas kertas,
atau media keras lain. Lebih jauh lagi, tulisan berfungsi sebagai pelestari ujaran. Lebih jauh lagi dari
itu, tulisan menjadi pelestari
kebudayaan manusia. Kebudayaan manusia purba dan manusia terdahulu lainnya bisa
kita prediksi karena mereka meninggalkan sesuatu untuk dipelajari. Sesuatu itu
antara lain berbentuk tulisan.
Realitas yang
menunjukkan bahwa bahwa bahasa itu
vokal mengakibatkan telaah tentang bahasa (linguistik) memiliki cabang
kajian telaah bunyi yang disebut dengan
istilah fonetik dan fonologi.
d) Bahasa itu simbol
Simbol
adalah lambang sesuatu, bahasa juga
adalah lambang sesuatu. Titik-titik air yang jatuh dari langit diberi simbol
dengan bahasa dengan bunyi tertentu.
Bunyi tersebut jika ditulis adalah hujan.
Hujan adalah simbol linguistik yang bisa disebut kata untuk melambangkan
titik-titik air yang jatuh dari langit itu.
Simbol bisa berupa bunyi, tetapi bisa berupa goresan tinta berupa gambar di atas kertas. Gambar adalah bentuk lain dari simbol. Potensi yang begitu tinggi yang dimiliki
bahasa untuk menyimbolkan sesuatu
menjadikannya alat yang sangat
berharga bagi kehidupan manusia. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika manusia tidak memiliki bahasa, betapa sulit mengingat dan menkomunikasikan
sesuatu kepada orang lain.
e) Bahasa itu mengacu pada dirinya
Sesuatu
disebut bahasa jika ia mampu dipakai untuk menganalisis bahasa itu
sendiri. Binatang mempunyai bunyi-bunyi sendiri ketika bersama dengan sesamanya, tetapi
bunyi-bunyi yang meraka gunakan tidak bisa digunakan untuk membelajari bunyi mereka sendiri. Berbeda dengan halnya
bunyi-bunyi yang digunakan oleh manusia ketika berkomunikasi. Bunyi-bunyi yang
digunakan manusia bisa digunakan untuk menganalisis bunyi itu sendiri. Dalam
istilah linguistik, kondisi seperti itu disebut dengan metalaguage, yaitu
bahasa bisa dipakai untuk membicarakan
bahasa itu sendiri. Linguistik
menggunakan bahasa untuk menelaah bahasa secara ilmiah.
f)
Bahasa itu manusiawi
Bahasa
itu manusiawi dalam arti bahwa bahwa itu
adalah kekayaan yang hanya dimiliki umat manusia. Manusialah yang berbahasa sedangkan hewan dan tumbuhan tidak. Para hali biologi telah membuktikan bahwa
berdasarkan sejarah evolusi, sistem
komunikasi binatang berbeda dengan
sistem komunikasi manusia, sistem komunikasi binatang tidak mengenal ciri
bahaya manusia sebagai sistem bunyi dan makna. Perbedaan itu kemudian menjadi
pembenaran menamai manusia sebagai homo
loquens atau binatang yang mempunyai kemampuan berbahasa.
Karena sistem bunyi yang digunakan dalam bahasa manusia itu berpola makan
manusia pun disebut homo grammaticus, atau hewan yang bertata bahasa.
g)
Bahasa itu komunikasi
Fungsi
terpenting dan paling terasa dari bahasa adalah
bahasa sebagai alat komunikasi dan interakasi. Bahasa berfungsi
sebagai alat memperaret antar manusia
dalam komunitasnya, dari komunitas kecil
seperti keluarga, sampai komunitas besar seperti negara. Tanpa bahasa tidak
mungkin terjadi interaksi harmonis antar manusia, tidak terbayangkan bagaimana
bentuk kegiatan sosial antar manusia tanpa bahasa.
Komunikasi
mencakup makna mengungkapkan dan
menerima pesan, caranya bisa dengan berbicara, mendengar, menulis, atau
membaca. Komunikasi itu bisa beralangsung dua arah, bisa pula searah.
Komunikasi tidak hanya berlangsung antar
manusia yang hidup pada satu jaman, komunikasi itu bisa dilakukan antar manusia
yang hidup pada jaman yang berbeda, tentu saja
meskipun hanya satu arah. Nabi Muhammad SAW telah meninggal pada masa silam, tetapi ajaran-ajarannya
telah berhasil dikomunikasikan kepada umat manusia pada masa sekarang. Melalui buku, para pemikir sekarang bisa
mengkomunikasikan pikirannya kepada para penerusnya yang akan lahir di masa
datang. Itulah bukti bahwa bahasa
menjadi jembatan komunikasi antar manusia.
Pengertian
bahasa sangat bergantung pada dari sisi apa kita melihat bahasa. Dalam pengertian umum bahasa diartikan
sebagai sistem lambang bunyi berartikulasi
yang bersifat arbitrer dan alat
komunikasi .
Para ahli
linguistik maupun komunikasi
mengartikan bahasa sebagai suatu sistem tanda atau lambang bunyi yang arbitrer, yang
dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat
untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.
Meskipun
definisi tentang bahasa redaksinya dan penekanannya berbeda, tetapi ada
ciri-ciri umum yang bisa menggambarkan hakikat bahasa.
Ciri-ciri yang menjadi hakikat bahasa itu
adalah bahwa bahasa itu sistematik,
beraturan atau berpola; bahasa itu
manasuka (Arbitrer), manasuka atau acak
; bahasa itu vokal atau bahasa itu merupakan sistem bunyi; bahasa itu symbol;
bahasa itu mengacu pada dirinya; bahasa
itu manusiawi; dan bahasa itu komunikasi
Langganan:
Postingan (Atom)