Nama : Immanuel A Sihotang
NIM : 070906035
Departemen : Ilmu Politik
Tugas Review
(buku : Muslim Demokrat –
Saiful Mujani)
Dalam buku ini ditunjukkan secara sistematis hubungan
antara Islam dan demokrasi, dengan mendefinisikan Islam secara empiris menurut
dimensi-dimensi Islam dan komponen-komponen demokrasi, yakni budaya demokrasi
(modal sosial, toleransi politik, keterlibatan politik, sikap percaya pada
instisusi politik) dan partisipasi politik.
Sejarah perkembangan ideologi politik umat manusia akan
berakhir dengan sistem demokrasi. Begitu prediksi Francis Fukuyama dalam
bukunya The End of History and The Last Man (1992). Demokrasi telah terbukti
sebagai ideologi yang paling banyak dianut oleh negara-negara di seluruh dunia
era pasca-Perang Dingin. Tetapi hal itu tidak terjadi di negara-negara yang
penduduknya mayoritas Muslim terutama di negara-negara Arab atau Timur Tengah
yang dianggap sebagai pusat berkembangnya kebudayaan Islam. Negara – negara
muslim pada umumnya gagal menerapkan nilai-nilai demokratis. Bahkan, sebagian
besar negara muslim sampai kini masih menerapkan sistem pemerintahan yang
represif dan otoritarian.
Index of Political Right and
Civil Liberty yang dikeluarkan Freedom House (2002) menunjukkan bahwa sepanjang
tiga dekade terakhir hanya ada satu negara Muslim yang mampu membangun
demokrasi secara penuh selama lebih dari lima
tahun, yakni Mali di Afrika. Dua belas negara Muslim lainnya termasuk kedalam
kelompok semi demokratis. Sisanya, 35 negara, bersifat otoritarian. Lantas,
mengapa demokrasi jarang ditemukan di negara-negara yang penduduknya mayoritas
Muslim, padahal era demokrasi kian mengglobal? Mengapa sistem demokrasi sangat
sulit berkembang dan tidak terkonsolidasikan dengan kukuh di negara-negara
Muslim? Apakah fenomena ini terkait dengan Islam?
Saiful Mujani
menampilkan sejumlah argumen kesarjanaan Barat mengenai pandangannya terhadap
hubungan antara Islam dan demokrasi. Kedourie, Lipset, Gellner, Mardin, Huntington , dan Lewis
percaya bahwa Islam bertanggung jawab atas langkanya demokrasi di negara-negara
Muslim. Mereka juga percaya bahwa semakin kuat Islam dalam suatu masyarakat,
demokrasi semakin tidak mungkin dapat dijumpai di masyarakat tersebut. Huntington (1997),
misalnya, mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha mengenalkan demokrasi ke
dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Itu tidak
lain karena watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep
leberalisme Barat.
Hal yang sama dikatakan oleh Elie Kedourie (1992),
seperti yang dikutip buku ini, bahwa peradaban Islam bersifat unik; kaum muslim
bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup pada dunia luar.
Baginya, peradaban seperti itu meghambat kaum muslim untuk mempelajari dan
menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban lain (h.
13).
Buku ini menarik karena Saiful Mujani tidak hanya
menampilkan hipotesis para sarjana Barat yang memandang hubungan negatif antara
Islam dan demokrasi, tapi juga menyajikan pandangan yang berbeda. Tessler,
misalnya, mengatakan bahwa praktik keagamaan umat Islam dan nilai politik tidak
memiliki hubungan negatif yang berarti dengan demokrasi.
Saiful Mujani memilih Indonesia sebagai studi kasus
penulisan buku ini. Menurut dia, studi tentang hubungan antara Islam dan
demokrasi di Indonesia
sudah banyak, namun belum cukup dilakukan secara sistematis. Selain itu, karena
Indonesia
merupakan negara Muslim terbesar di dunia, kaum Muslimnya memiliki bentuk
keyakinan yang sangat beragam.
Dalam kesimpulan penelitian ini, Mujani memperoleh satu
kesimpulan bahwa Islam tidak bertentangan dengan demokrasi. Keduanya justru
saling mendukung. Bahkan, Islam sangat mendorong pembentukan politik demokrasi.
Apalagi sesudah Orde Baru runtuh pada 1998, masyarakat Islam sangat aktif
melibatkan diri dalam dinamika politik. Ini terlihat dari tumbuhnya partai
politik berbaju Islam. Misalnya PKB, PBB, PKS, PKNU, dsb.
Secara kualitatif, munculnya partai-partai yang berlabel
Islam itu memberi warna dan varian tersendiri bagi iklim politik di Indonesia.
Partai-partai tersebut hampir tidak ada (untuk menyebutkan tidak ada) yang
bercorak atau mempunyai paradigma untuk mendirikan negara Islam (khilafa) yang
terkesan otoriter. Islam hanya sebagai agama (prilaku, etika), bukan termasuk
komunitas institusi negara. Artinya, partai politik yang bebaju Islam ingin
menciptakan politik yang demokratis yang memberi kesejahteraan pada rakyat.
Oleh sebab itu, menurut Mujani, demokrasi harus dipahami melalui dua cara.
Pertama, sebagai sebuah kompleks budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur
saling percaya antar sesama warga, jaringan keterlibatan kewargaan, toleransi,
keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap
kinerja demokrasi, serta dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni
negara-bangsa (nation-state). Kedua, sebagai partisipasi politik, demokrasi
merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela, mulai dari voting
hingga protes oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan
publik.
Studi demokrasi melalui pendekatan dua cara tersebut,
oleh Mujani, dipandang lebih sistematis dan analitis dalam mengkaji hubungan
antara Islam dan demokrasi. Sebab, budaya politik dipandang sebagai orientasi
psikologis terhadap objek sosial, atau sebagai sikap terhadap sistem politik
dan terhadap diri sebagai aktor politik. Orientasi ini termasuk pengetahuan
atau kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap
sistem politik secara umum, input dan output politik, dan perasaan seseorang
dalam sistem politik. Variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi
partisipasi politik dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada
gilirannya mempengaruhi stabilitas demokrasi.
Buku ini menyuguhkan kajian sistematis dan empiris
mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi, terutama mengenai prilaku politik
masyarakat Islam Indonesia .
Karena itu, buku ini sangat menarik untuk dibaca oleh para akademisi politik,
pengamat politik, dan kalangan umum yang tertarik untuk memahami lebih dalam
lagi hubungan antara budaya politik Islam dan demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar