Jumat, 25 Mei 2012

Konsep Kekuasan Jawa


Konsep  kekuasaan  Jawa,  dalam  beberapa hal  memiliki  ciri-ciri  yang  sama  dengan  hampir kebanyakan  konsep  kekuasaan  dalam  masyarakat  tradisional,  yakni  konsep  dewa raja. Konsep  ini  pada  dasarnya  dimaksudkan,  bahwa raja  sebagai  kepala  pemerintahan  dan  sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya,  bahwa  konsep  kekuasaan Jawa khususnya Mataram, mencakupi kekuasaan yang  bersifat  religius  (keagamaan)  dari  kepercayaan yang pernah ada. Adanya konsep kekuasaan,  bahwa  raja  adalah  seorang  yang sakti  dan kesaktian  adalah  salah  satu  kepercayaan  yang biasa  dianut  oleh  masyarakat  primitif setelah masuknya Hindu ke Indonesia, khususnya Jawa, seorang raja mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa,  keturunan  dewa,  maupun  penjelaman dewa,  sebagai  salah  satu  cara yang  ditempuh guna  melegitimasikan  kekuasaannya. 
Ketika agama  Islam  masuk  ke  Indonesia  dan  menjadi salah  saut agama  yang  mempunyai  penganut sangat  besar,  para  raja  juga  berusaha  memanfaatkan  pengaruh  keagamaan  ini guna  memperkokoh  kedudukannya,  dengan mengambil garis  keturunan  (silsilah)  dari  nabi-nabi  yang sesuai  dengan  kepercayaan  agama  Islam  ataupun  mengambil  garis  keturunan  dari  wali-wali penyebar agama Islam. Perbedaan  ini  tentu  saja  disebabkan  karena  Indonesia  khususnya  Jawa, memiliki  latar belakang  budaya  yang  berlainan  bila  dibandingkan  dengan  masyarakat  lainnya. Adanya  perbedaan  ini  menunjukkan  bahwa  konsep  kekuasaan  Jawa  di  samping  memiliki  persamaan dengan  masyarakat  atau  bangsa lain,  sekaligus juga  memiliki  perbedaan  yang  merupakan  ciri khas masyarakat Jawa. Mengingat  masyarakat  Jawa merupakan mayoritas di Indonesia, pengaruh konsep kekuasaan  Jawa  tentunya  juga  mempengaruhi konsepkekuasaaan  masyarakat  lainnya di  Indonesia.
Adanya  kenyataan  bahwa  elit  politik  di  Indonesia  umumnya  berasal  dari  suku  bangsa Jawa, maka  tidak  disangkal  lagi  bahwa  kehidupan  pemerintahan  ataupun  kenegaraan  di Indonesia  diwarnai  oleh  budaya  Jawa  dengan berbagai ciri feodalismenya. Budaya  Jawa  adalah  budaya  yang sangat feodal  dan  kefeodalannya  sebenarnya  tidak  dapat  dilepaskan  dari  latar  belakang  sejarahnya. Bila  dibandingkan  dengan  suku bangsa  lainnya di Indonesia, maka masyarakat Jawa adalah yang paling banyak mendapat pengaruh dari berbagai budaya asing. Terlebih lagi, hampir semua pusat kekuasaan  pemerintahan  yang  ”berskala  nasional”  umumnya  berpusat atau terdapat  di Jawa,  sehingga  Jawalah  yang  paling  banyak  dipengaruhi dan  sekaligus banyak berbagai  sektor sosial budaya masyarakat di Indonesia.
Budaya  Jawa  yang  sangat  feodal sebenarnya  kurang  cocok  dengan  alam  demokrasi  di Indonesia, namun demikian feodalisme Jawa ini ternyata  tidak  selalu  diutamakan  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  karena  adanilai  moral  (etika)  lain  yang sekaligus  menjadi semacam  isolator  yang menghambat  berkembangnya  feodalisme  ini.  Memang  pernah, dulu ketika  kekuasaan Mataram masih  berperan dalam bidang politik di Indonesia, budaya Sunda yang  sebenarnya  dan  sebelumnya lebih  demokratispun  sempat  difeodalisasikan  oleh  budaya Jawa. Bahasa Sunda yang semula tidak mengenal undak-usuk,  telah  mendapat  warna  baru  yang semakin  mempertegas  dan  memperjelas  adanya tingkatan-tingkatan sosial.  Dalam bahasa  Sunda pun  kemudian  juga  dikenal  tingkatan  bahasa(undak-usuk)  dan  berbagai etika  Jawa  dengan segala  stratifikasi  sosialnya. Namun  demikian, hal  ini  tidak  perlu  dicemaskan oleh  berbagai suku bangsa lainnya, mengingat orang Jawa juga memiliki  kelebihan  lainnya,  yakni  sikap  toleran yang  kemungkinan  sukar  dicari bandingannya pada suku bangsa lainnya. Toleransi  yang  besar  yang  dimiliki  oleh orang Jawa, bukan saja toleran terhadap budaya lain,  tetapi  juga  terhadap  agama  lain.  Sikap toleran  semacam  ini  dapat  dilihat  dari  latar belakang  sejarah  budaya  Jawa, dari  sejak masuknya  bangsa  Barat  dengan  agama Nasraniya dan budaya Baratnya. Dalam keluarga Jawa, tidak merupakan hal aneh  jika  salah  satu anggota  keluarganya menganut  agama  lain  yang  berbeda  dengan agama kedua orang tuanya. Demikian juga, tidak merupakan  hal  aneh  jika  dalam keluarga  Jawa terdapat  anggota  keluarganya  yang,  menikah dengan suku bangsa lain, bahkan dengan bangsa lainnya.  Hal  semacam  ini  kemungkinan  merupakan  hal  yang  sangat  sulit  didapat  ataudiketemukan  dalam  lingkungan  keluarga  dari suku bangsa lainnya.Dari  pengalaman  historis  suku bangsa Jawa sejak  masuknya  Hindu  ke  Indonesia, membuktikan  adanya  sikap  toleran  yang  demikian. Bangsa Indonesia (Jawa) yang  sebelumnya menganut  kepercayaan animisme-dinamisme dapat menerima pengaruh agama Hindu dengan berbagai  etika  dan  budayanya, sehingga  agama ini dapat berkembang  pesat  di Jawa  bila  dibandingkan  dengan  di  daerah  lain  yang  memiliki budaya lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan  keagamaan  Hindu  yang diketemukan di  berbagai  daerah  di  pulau  Jawa,  khususnya  di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Budha ke Indonesia (Jawa) pun, tidak  mengalami hal sulit,  dan  bahkan mendapat  sambutan  yang  sangat menggembirakan  dari  orang  Jawa.  Hal  ini  bukan  sajaditandai  atau  dibuktikan  dengan  diketemukannya  berbagai  bangunan  keagamaan  agama Budha,  seperti  Candi  Borobudur  yang  terkenal itu,  tetapi  juga  diketemukan  suatu  kenyataan bahwa  di  Jawa  telah  terjadi  akulturasi  antara budaya  Hindu-Budha  dan  Jawa,  demikian  juga terjadinya  sinkretisme  antara agama  Hindu-Budha-Anisme/Dinamisme  (Jawa).  Diketemukannya  patung hari-hara yang  merupakan  perwujudan  patung  Hindu-Budha,  yang  dalam  pelaksanaan  ritualnya  sudah  barang  tentu  mendapat ”corak Jawa” pula. Selain masuknya agama Hindu dan Budha ke  Indonesia  (Jawa),  kemudian masuk  pula orang  Arab  dengan  agama  Islamnya.  Agama Islam  diterima  secara  terbuka oleh  orang  Jawa, bahkan kemudian  mampu berkembang  pesat di Jawa  dan  juga  di  berbagai  daerah  di  Indonesia. Agama Islam  di Indoneisa  telah menjadi agama yang  bukan  saja  terbesar  di  Jawa,  tetapi  juga terbesar  di  dunia.  Mengingat  mayoritas  penduduk Indonesia  adalah dari  suku  bangsa  Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk agama Islam-pun adalah terdiri dari orang-orang Jawa. Pada  waktu  bangsa  Barat  (Portugis,  Spanyol  dan  Belanda)  dengan  budaya  Barat  dan
agama Nasraninya masuk ke Indonesia, juga diterima  secara  terbuka  oleh  orang  Jawa. Terjadinya berbagai pertikaian dengan bangsa Barat sebenarnya  bukan  disebabkan  oleh  perbedaan agama  atau  budaya  Baratnya,  tetapi  dan  terutama  disebabkan  karena  adanya sikap  sewenangnya-wenang  yang  dilakukan  oleh  para pemuka  Barat  terhadap  bangsa  Indonesia  (Jawa).  Kalau  dalam  sejarah  perlawanan  terhadapBarat  diketemukan  adanya  perlawanan  yang bersifat  rasialis  ataupun  bersifat  keagamaan, sebenarnya  hanya  merupakan  pemicu  perlawanan  saja.  Sebab  dalam  gerakan  sosial, termasuk  juga  terjadinya  perlawanan terhadap bangsa Barat yang semula bersifat politik, dapat saja di beri ”baju” lain, yakni ”baju” keagamaan ataupun kebangsaan. Demikian juga sebaliknya. Seperti  pernah  dikemukakan  sebelumnya, sekalipun  orang  Jawa  mendapat berbagai  pengaruh  dari  berbagai  budaya  lain, namun  corak ataupun  warna  ”kejawaanya”  akan  selalu  nampak,  yang  bahkan  seringkali  lebih  dominan  dibandingkan  dengan  pengaruh  dari  luar  itu sendiri. Dengan demikian, kebesaran (mayoritas) suku  bangsa  Jawa  juga  tetap  memiliki  peran besar  yang  positif  dalam  kehidupan  berbangsa dan bernegara di Indonesia, sekalipun tidak bisa dipungkiri  tentunya  juga  memiliki  segi-segi  negatifnya. Mayoritas  suku  bangsa  Jawa  di Indonesia yang  terdiri  dari  banyak  suku bangsa  dan  budaya,  bukan  saja  memberikan  manfaat  yang sangat positif, tetapi juga manfaat yang strategis bagi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa. Kalau  bahasa  Indonesia  dibanggakan  sebagai ”bahasa  persatuan”,  maka  suku bangsa  Jawa juga  dapat  dan  berfungsi  demikian. 
Bisa dibayangkan  seandainya  di  Indonesia  ini  setiap suku  bangsa  memiliki  anggapan bahwa suku bangsanyalah yang paling baik paling besar, atau paling  tidak  setiap  suku  bangsa  sama baiknya dan sama besarnya, pertikaian antar etnis seperti yang  sering  terjadi  di  berbagai  negara  seperti India,  Afrika  Selatan, atau negara-negara  Afrika lainnya, pasti sering terjadi.
Dengan demikian, suku bangsa Jawa dapat disebut  sebagai  suku  bangsa  persatuan,  karena dengan  adanya  suku  bangsa  ini persatuan  dan kesatuan  nasional  dapat  tetap dipertahankan. Sehingga  tidak  menutup  kemungkinan,  bahwa nantinya  nasionalisme  justru  tumbuh  kembang dari lingkungan keluarga Jawa yang sekarang ini sudah  berbaur  dengan  banyak  suku  bangsa lainnya,  bahkan  juga  dengan  banyak  bangsa. Sifat  fleksibel  dan  toleran  yang  dimiliki  suku bangsa  Jawa,  membawa  dampak  positif  bagi terciptanya  kesatuan  nasional.  Hal  semacam  ini jarang dikemukakan pada suku bangsa lainnya di Indonesia,  sebagai  contoh misal  di  kota Medan para  penganut  agama  Hindu  atau Budha semuanya  berasal  dari  keturunan  asing  seperti Tamil,  India  dan  lain-lain.  Penduduk  asli setempat  tidak  ada  yang  menganut  agama tersebut, hal ini berbeda misalnya dengan orang Jawa. Sekalipun di wilayah Jawa tengah, Daerah Istimewa  Yogyakarta  dan  Jawa  Timur  mayoritasnya  berbagai  Islam, tetapi  di  antara  mereka terdapat juga pemeluk agama lain, seperti agama Hindu dan Budha. Kelemahan yang dimiliki oleh budaya Jawa yang  satu  akan  dapat  ditanggulangi  oleh kelebihan  etika  Jawa  yang  lain lagi,  sehingga antara  kekurangan  dan  kelebihannya  itu  dapat dicari  suatu  alternatif  sikap, baik  dalam kehidupan  berbangsa  dan  bernegara,  maupun dalam berbagai  sektor  kehidupan  lainnya. Feodalisme Jawa dapat diatasi oleh sikap tenggang rasa, yang intinya  mencerminkan perlunya sikap demokratis  terhadap  sesamanya. Sikap  yang demikian  ini  selain  mengajarkan  perlunya  sikap demokratis,  juga  sikap  dan  sifat  adil guna diperoleh  suatu  kebenaran  dalam  kehidupan bermasyarakat  dan  bernegara.  Sejalan  dengan semakin  meluasnya  pendidikan  di  Indonesia, maka  feodalisme  Jawa  tentunya juga  akan semakin menipis, sehingga memberikan peluang yang sangat  baik  bagi semakin terciptanya  iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi sikap feodal ini umumnya hanya dimiliki oelh generasi itu, yang sebentar  lagi  sudah  akan  berakhir  perannya dalam  kancah  kehidupan  politik maupun pemerintahan di Indonesia, dan digantikan oleh generasi  muda  yang  sudah  banyak  mendapat didikan  yang  lebih  demokratis dibandingkan dengan pendahulunya.
Terkikisnya sikap feodal Jawa ini nantinya bukan  hanya  disebabkan  oleh  meningkatnya pendidikan  di  Indonesia  yang semakin  meluas dan semakin maju, tetapi tidak kalah pentingnya adalah  semakin  meluasnya  ajaran  keagamaan, khususnya  agama  Islam  yang  mengajarkan  paham  keadilan,  kesamaan  derajat umat  manusia. Hal  ini  sejalan  dengan  ajaran agama  Islam  dari salah  satu  ayat  ajarannya,  yang  antara  lain mengatakan:  ”bahwa  di  hadapan  Allah  semua manusia itu sama, yang membedakannya adalah amal dan ibadahnya”. Dari  berbagai kenyataan  semacam  ini,  sebenarnya  tidak  perlu  dikhawatirkan  akan timbulnya  ”Javanisasi”  yang  akan  menghilangkan  corak  atau  warna  budaya  lainnya,  tetapi seharusnya  justru  budaya  lain akan  terwadahi oleh budaya Jawa yang terkenal sangat toleran diberbagai  bidang,  baik  masalah kesukuan,  keagamaan,  maupun  kebudayaan  dan antar golongan (SARA=Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Toleransi  budaya  ataupun  orang  Jawa  ini akan  semakin  berkembang  sejalan  dengan semakin  besarnya  jumlah  orang Jawa,  karena suatu masyarakat yang semakin besar  maka rasa kedaerahan  ataupun  kesukuannya  juga  akan  semakin  melemah.  Hal  ini  berbeda misalnya  dengan  suku  bangsa  minoritas,  maka  rasa  kesukuannya justru akan semakin menguat, dan cenderung  bersifat  radikal,  tertutup  dan  rasial.  Sebagai contoh  etnis  Cina  di  Indonesia,  atau  dibanyak negara. Demikian juga bangsa Yahudi di Israel, atau di berbagai negara di dunia.


copy link : seni dan budaya jawa
http://www.mediafire.com/view/?fx3co45fj0ecjxp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar