Konsep kekuasaan
Jawa, dalam beberapa
hal memiliki
ciri-ciri yang sama dengan
hampir kebanyakan konsep
kekuasaan dalam masyarakat
tradisional, yakni konsep
dewa raja.
Konsep ini
pada dasarnya dimaksudkan,
bahwa raja sebagai kepala
pemerintahan dan sekaligus kepala keagamaan/pimpinan spritual. Perbedaanya, bahwa
konsep kekuasaan Jawa khususnya Mataram, mencakupi
kekuasaan yang bersifat
religius (keagamaan) dari
kepercayaan yang pernah ada. Adanya konsep kekuasaan, bahwa
raja adalah seorang
yang sakti dan kesaktian adalah
salah satu kepercayaan
yang biasa dianut
oleh masyarakat primitif setelah masuknya Hindu ke Indonesia,
khususnya Jawa, seorang
raja mengidentifikasikan dirinya sebagai dewa,
keturunan dewa, maupun
penjelaman dewa, sebagai
salah satu cara yang ditempuh
guna melegitimasikan kekuasaannya.
Ketika
agama Islam
masuk ke Indonesia
dan menjadi salah
saut agama yang mempunyai
penganut sangat besar,
para raja juga
berusaha memanfaatkan pengaruh
keagamaan ini guna
memperkokoh kedudukannya, dengan mengambil garis
keturunan (silsilah) dari
nabi-nabi yang sesuai dengan
kepercayaan agama Islam
ataupun mengambil garis
keturunan dari wali-wali penyebar agama Islam. Perbedaan
ini tentu saja
disebabkan karena Indonesia
khususnya Jawa, memiliki latar belakang
budaya yang berlainan
bila dibandingkan dengan
masyarakat lainnya. Adanya perbedaan
ini menunjukkan bahwa
konsep kekuasaan Jawa
di samping memiliki
persamaan dengan masyarakat
atau bangsa lain, sekaligus juga
memiliki perbedaan yang
merupakan ciri khas masyarakat Jawa. Mengingat masyarakat
Jawa merupakan mayoritas
di Indonesia, pengaruh konsep kekuasaan
Jawa tentunya juga
mempengaruhi konsepkekuasaaan
masyarakat lainnya di Indonesia.
Adanya kenyataan
bahwa elit politik
di Indonesia umumnya
berasal dari suku
bangsa Jawa, maka tidak disangkal
lagi bahwa kehidupan
pemerintahan ataupun kenegaraan
di Indonesia diwarnai
oleh budaya Jawa
dengan berbagai
ciri feodalismenya. Budaya Jawa
adalah budaya yang sangat feodal dan kefeodalannya
sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari latar
belakang sejarahnya. Bila
dibandingkan dengan suku bangsa
lainnya di
Indonesia, maka masyarakat Jawa adalah yang paling banyak mendapat pengaruh dari berbagai budaya asing. Terlebih lagi, hampir
semua pusat kekuasaan pemerintahan
yang ”berskala nasional”
umumnya berpusat atau terdapat di Jawa,
sehingga Jawalah yang
paling banyak dipengaruhi dan sekaligus banyak berbagai sektor sosial budaya masyarakat di Indonesia.
Budaya Jawa
yang sangat feodal
sebenarnya kurang
cocok dengan alam
demokrasi di Indonesia, namun demikian feodalisme
Jawa ini ternyata tidak
selalu diutamakan dalam
kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena adanilai
moral (etika) lain
yang sekaligus menjadi semacam
isolator yang menghambat berkembangnya
feodalisme ini. Memang
pernah, dulu
ketika kekuasaan Mataram masih berperan dalam bidang politik di Indonesia, budaya Sunda yang
sebenarnya dan sebelumnya lebih
demokratispun sempat difeodalisasikan oleh
budaya Jawa.
Bahasa Sunda yang semula tidak mengenal undak-usuk, telah mendapat
warna baru yang semakin
mempertegas dan memperjelas
adanya tingkatan-tingkatan
sosial. Dalam bahasa Sunda pun kemudian juga
dikenal tingkatan bahasa(undak-usuk) dan
berbagai etika Jawa dengan segala
stratifikasi sosialnya. Namun
demikian, hal ini
tidak perlu dicemaskan oleh berbagai
suku bangsa lainnya, mengingat
orang Jawa juga memiliki kelebihan
lainnya, yakni sikap
toleran yang kemungkinan
sukar dicari bandingannya pada suku bangsa lainnya. Toleransi yang
besar yang dimiliki
oleh orang Jawa,
bukan saja toleran terhadap budaya lain, tetapi juga
terhadap agama lain.
Sikap toleran semacam
ini dapat dilihat
dari latar belakang sejarah
budaya Jawa, dari
sejak masuknya bangsa
Barat dengan agama Nasraniya dan budaya Baratnya. Dalam keluarga Jawa, tidak merupakan
hal aneh jika
salah satu anggota keluarganya menganut
agama lain yang
berbeda dengan agama kedua orang tuanya. Demikian
juga, tidak merupakan hal
aneh jika dalam keluarga Jawa
terdapat anggota
keluarganya yang, menikah dengan suku bangsa lain, bahkan dengan bangsa lainnya. Hal
semacam ini kemungkinan
merupakan hal yang
sangat sulit didapat
ataudiketemukan dalam lingkungan
keluarga dari suku bangsa lainnya.Dari pengalaman
historis suku bangsa Jawa sejak
masuknya Hindu ke
Indonesia, membuktikan adanya
sikap toleran yang
demikian. Bangsa Indonesia (Jawa) yang
sebelumnya menganut kepercayaan animisme-dinamisme dapat menerima pengaruh agama Hindu
dengan berbagai etika
dan budayanya, sehingga agama ini dapat berkembang
pesat di Jawa bila dibandingkan
dengan di daerah
lain yang memiliki budaya lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
bangunan keagamaan
Hindu yang diketemukan di
berbagai daerah di
pulau Jawa, khususnya
di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Masuknya
agama Budha ke Indonesia (Jawa) pun, tidak
mengalami hal sulit, dan bahkan mendapat
sambutan yang sangat menggembirakan
dari orang Jawa.
Hal ini bukan
sajaditandai atau dibuktikan
dengan diketemukannya berbagai
bangunan keagamaan agama Budha, seperti Candi
Borobudur yang terkenal itu, tetapi juga
diketemukan suatu kenyataan bahwa di Jawa
telah terjadi akulturasi
antara budaya Hindu-Budha
dan Jawa, demikian
juga terjadinya sinkretisme
antara agama
Hindu-Budha-Anisme/Dinamisme (Jawa). Diketemukannya patung hari-hara yang
merupakan perwujudan patung
Hindu-Budha, yang dalam
pelaksanaan ritualnya sudah
barang tentu mendapat ”corak Jawa” pula. Selain masuknya agama Hindu dan Budha
ke Indonesia
(Jawa), kemudian masuk
pula orang Arab
dengan agama Islamnya.
Agama Islam diterima
secara terbuka oleh orang
Jawa, bahkan
kemudian mampu berkembang pesat di Jawa dan juga
di berbagai daerah
di Indonesia. Agama Islam di Indoneisa
telah menjadi agama yang bukan
saja terbesar di
Jawa, tetapi juga terbesar di dunia.
Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah dari
suku bangsa Jawa, sudah bisa dipastikan bahwa mayoritas pemeluk agama Islam-pun adalah terdiri dari
orang-orang Jawa.
Pada waktu bangsa
Barat (Portugis, Spanyol
dan Belanda) dengan
budaya Barat dan
agama
Nasraninya masuk ke Indonesia, juga diterima
secara terbuka oleh
orang Jawa. Terjadinya berbagai
pertikaian dengan bangsa Barat sebenarnya bukan
disebabkan oleh perbedaan agama atau budaya
Baratnya, tetapi dan
terutama disebabkan karena
adanya sikap sewenangnya-wenang yang
dilakukan oleh para pemuka Barat terhadap
bangsa Indonesia (Jawa).
Kalau dalam sejarah
perlawanan terhadapBarat diketemukan
adanya perlawanan yang bersifat
rasialis ataupun bersifat
keagamaan, sebenarnya hanya
merupakan pemicu perlawanan
saja. Sebab dalam
gerakan sosial, termasuk juga
terjadinya perlawanan terhadap
bangsa Barat yang semula
bersifat politik, dapat saja
di beri ”baju” lain, yakni ”baju” keagamaan ataupun kebangsaan. Demikian juga sebaliknya. Seperti pernah
dikemukakan sebelumnya, sekalipun orang
Jawa mendapat berbagai pengaruh
dari berbagai budaya
lain, namun corak ataupun warna
”kejawaanya” akan selalu
nampak, yang bahkan
seringkali lebih dominan
dibandingkan dengan pengaruh
dari luar itu sendiri. Dengan demikian, kebesaran (mayoritas) suku
bangsa Jawa juga
tetap memiliki peran besar yang positif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, sekalipun tidak bisa dipungkiri tentunya
juga memiliki segi-segi
negatifnya. Mayoritas suku
bangsa Jawa di Indonesia yang terdiri dari
banyak suku bangsa dan
budaya, bukan saja
memberikan manfaat yang sangat positif, tetapi juga manfaat yang strategis
bagi terciptanya kesatuan dan
persatuan bangsa. Kalau bahasa
Indonesia dibanggakan sebagai ”bahasa
persatuan”, maka suku bangsa Jawa
juga dapat
dan berfungsi demikian.
Bisa
dibayangkan seandainya
di Indonesia ini
setiap suku bangsa
memiliki anggapan bahwa suku bangsanyalah yang paling baik paling
besar, atau paling tidak
setiap suku bangsa
sama baiknya dan
sama besarnya, pertikaian antar etnis seperti yang sering terjadi
di berbagai negara
seperti India, Afrika
Selatan, atau negara-negara
Afrika lainnya,
pasti sering terjadi.
Dengan
demikian, suku bangsa Jawa dapat disebut sebagai
suku bangsa persatuan,
karena dengan adanya
suku bangsa ini persatuan dan
kesatuan nasional
dapat tetap dipertahankan. Sehingga tidak
menutup kemungkinan, bahwa nantinya
nasionalisme justru tumbuh
kembang dari
lingkungan keluarga Jawa yang sekarang ini sudah
berbaur dengan banyak
suku bangsa lainnya, bahkan
juga dengan banyak
bangsa. Sifat fleksibel
dan toleran yang
dimiliki suku bangsa Jawa,
membawa dampak positif
bagi terciptanya kesatuan
nasional. Hal semacam
ini jarang
dikemukakan pada suku bangsa lainnya di Indonesia,
sebagai contoh misal di
kota Medan para penganut
agama Hindu atau Budha semuanya berasal dari
keturunan asing seperti Tamil, India dan
lain-lain. Penduduk asli setempat
tidak ada yang
menganut agama tersebut, hal ini berbeda misalnya
dengan orang Jawa.
Sekalipun di wilayah Jawa tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa
Timur mayoritasnya berbagai
Islam, tetapi di antara
mereka terdapat
juga pemeluk agama lain, seperti agama Hindu dan Budha. Kelemahan yang dimiliki oleh budaya Jawa yang
satu akan dapat
ditanggulangi oleh kelebihan etika
Jawa yang lain lagi, sehingga
antara kekurangan
dan kelebihannya itu
dapat dicari suatu
alternatif sikap, baik
dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maupun dalam berbagai
sektor kehidupan lainnya. Feodalisme Jawa dapat diatasi oleh sikap tenggang rasa, yang intinya mencerminkan perlunya sikap demokratis terhadap
sesamanya. Sikap yang demikian ini selain
mengajarkan perlunya sikap demokratis,
juga sikap dan
sifat adil guna diperoleh
suatu kebenaran dalam
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sejalan dengan semakin
meluasnya pendidikan di
Indonesia, maka feodalisme
Jawa tentunya juga
akan semakin
menipis, sehingga memberikan peluang yang sangat baik bagi semakin terciptanya iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi sikap feodal ini umumnya hanya dimiliki oelh generasi
itu, yang sebentar lagi
sudah akan berakhir
perannya dalam kancah
kehidupan politik maupun pemerintahan di Indonesia, dan digantikan oleh
generasi muda
yang sudah banyak
mendapat didikan yang
lebih demokratis dibandingkan dengan pendahulunya.
Terkikisnya
sikap feodal Jawa ini nantinya bukan
hanya disebabkan oleh
meningkatnya pendidikan di
Indonesia yang semakin meluas dan semakin maju, tetapi tidak kalah pentingnya adalah semakin
meluasnya ajaran keagamaan, khususnya
agama Islam yang
mengajarkan paham keadilan,
kesamaan derajat umat
manusia. Hal ini
sejalan dengan ajaran agama
Islam dari salah
satu ayat ajarannya,
yang antara lain mengatakan:
”bahwa di hadapan
Allah semua manusia itu sama, yang membedakannya
adalah amal dan
ibadahnya”. Dari berbagai kenyataan semacam
ini, sebenarnya tidak
perlu dikhawatirkan akan timbulnya ”Javanisasi” yang
akan menghilangkan corak
atau warna budaya
lainnya, tetapi seharusnya justru
budaya lain akan
terwadahi oleh
budaya Jawa yang terkenal sangat toleran diberbagai bidang,
baik masalah kesukuan, keagamaan,
maupun kebudayaan dan antar golongan (SARA=Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Toleransi budaya
ataupun orang Jawa
ini akan semakin
berkembang sejalan dengan semakin
besarnya jumlah orang Jawa,
karena suatu
masyarakat yang semakin besar maka rasa
kedaerahan ataupun
kesukuannya juga akan
semakin melemah. Hal
ini berbeda misalnya dengan
suku bangsa minoritas,
maka rasa kesukuannya justru akan semakin menguat, dan
cenderung bersifat radikal,
tertutup dan rasial.
Sebagai contoh etnis Cina
di Indonesia, atau
dibanyak negara. Demikian juga bangsa Yahudi di Israel, atau di berbagai negara di
dunia.
copy link : seni dan budaya jawa
http://www.mediafire.com/view/?fx3co45fj0ecjxp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar