Kamis, 24 Mei 2012

MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI


Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi diharapkan menjadi jalan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang dihadapi dan menjadi harapan bagi masyarakat sebagai momentum untuk menemukan cara baru dalam mendesain jalannya roda pemerintahan, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Gerakan ini menuntut perubahan struktur, kultur dan paradigma penyelenggaraan pemerintahan terutama pada birokrasinya yang sedikit banyak juga mempunyai kontribusi pada saat terjadinya krisis multidimensional.

Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai masih kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintahah masih belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitan krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi daripada tindakan nyata kearah perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap integritas pemerintahan sering dipertanyakan dengan banyaknya bentuk luapan ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, caci maki terhadap birokasi publik dan sebagainya. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa.

Aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal. Pertama, reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik (Gaffar, 2000). Kedua, reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dari pola sentralisasi yang bersifat paternalistik menjadi desentralisasi yang bersifat kemitraan (Rasyid, 2001). Ketiga, tuntutan untuk mewujudkan good governance and clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung dengan prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan lain-lain (Edralin,1997).

Dalam upaya merespon dinamika dan berbagai tuntutan masyarakat tersebut lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 34 Tahun 2004. Keberadaan undang-undang tersebut memberikan porsi kewenangan yang besar pada daerah untuk mengurus rumah tangga sendiri. Keberadaan UU ini juga menawarkan berbagai kemungkinan untuk diterapkannya paradigma baru dalam menata kembali sistem pemerintahan daerah dan menemukan cara-cara baru dalam menjalankan birokrasi publik dengan efisien, efektif, responsif, transparan dan akuntabel.

Daerah diberi peluang mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai. nilai-nilai keanekaragaman daerah yang pada akhirnya pemerintah daerah dapat menentukan disain dan model birokrasi publik yang tepat untuk merespon tuntutan, aspirasi dan dinamika yang terjadi dimasyarakat. Kegagalan dalam merespon tuntutan perubahan itu bisa menciptakan sumber konflik baru antara pemerintah dengan masyarakat yang pada akhirnya bisa mengganggu legitimasi dan jalannya roda pemerintahan.

Untuk mendisain dan menentukan model birokrasi yang tepat maka perlu dilakukan perubahan yang mendasar terhadap anatomi dan kode genetika birokrasi publik di Indonesia agar dapat terwujud birokrasi yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi. Osborne dan Plastrik (1997) mengatakan dengan tegas dan menjadikannya sebagai … the first rule of reinvention : No new DNA, No Transformation. Terlebih lagi bagi daerah Kabupaten atau Kota dalam memasuki era otonomi daerah, yang mengharuskan mereka mandiri untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ditengah kompetisi global serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan peran birokrasi publik yang sebenarnya.

Saatnya untuk mereposisi peranan birokrasi publik menjadi birokrasi publik yang memiliki akuntabilitas, responsif, inovatif dan profesional serta berjiwa entreprenuer. Birokrasi daerah harus semakin kreatif dalam mengemban fungsi pemerintahan modern yaitu fungsi pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pola-pola lama dalam kultur birokrasi, kepemimpinan, struktur kelembagaan, manajemen sumber daya manusia dan sebagainya harus diorientasikan ke arah pembentukan birokrasi publik yang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis yang berlangsung cepat dan mengglobal.

Konsep perubahan birokrasi publik pada dasarnya sudah diperkenalkan oleh para teoritisi seperti Hood dan Pollitt. Sebagai kritik terhadap kinerja birokrasi lama (Model Weberian) yang sudah tidak mampu memenuhi harapan masyarakat seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Sebagaimana tesis yang dikemukan David Osborne dan Ted Gaebler (1992) bahwa : Bentuk pemerintahan yang berkembang selama era industri, dengan birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan serta rantai komando, tidak lagi berjalan dengan baik………Mereka (birokrasi pemerintahan) menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Dan ketika dunia mulai berubah, mereka gagal menyesuaikan diri dengan perubahan itu………sama sekali tidak berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan perekonomian tahun 1990-an yang cepat berubah, kaya informasi dan padat pengetahuan.

Perubahan birokrasi publik yang diperkenalkan para teorisi tersebut merupakan perubahan birokrasi publik melalui pendekatan NPM (New Public Management) sebagai paradigma baru dalam upaya mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, pejabatis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar bentuk manajemen publiknya (Hughes,1994). Pendekatan NPM ini bila ditarik benang merahnya (Hughes, 1994, Ferlie, et.al, 1996, Osborne dan Gaebler, 1992) menghendaki suatu birokrasi publik yang memiliki kriteria good governance dan enterpreneurial government dengan kemampuan memacu kompetisi, akuntabilitas, responsif terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai untuk mewujudkan good governance dan enterpreneurial government itu sendiri.

Mencermati banyaknya konsep dan paradigma tentang reformasi birokrasi serta penyelenggaraan pemerintahan yang telah dikemukakan para ahli, tetapi sangat jarang diikuti dengan kajian kritis mengenai perilaku, sikap dan persepsi elit birokrasi yang melaksanakan reformasi tersebut. Memang diakui telah terjadi perkembangan wacana tentang good governance dan enterpreneurial government dan menjadi perdebatan oleh banyak kalangan, baik para politisi, kalangan akademisi, praktisi pemerintahan maupun masyarakat dengan persepsi dan argumen yang berbeda-beda. Seharusnya elit birokrasi menyikapinya dengan kritis dan konstruktif serta mengadakan reformasi terlebih dahulu terhadap perilaku, mind set maupun budaya serta kompetensi yang harus dimilikinya dalam merespon tuntutan dan dinamika perubahan tersebut.

Penataan ulang, pembaruan, desain ulang, reformasi sektor pemerintahan dan manajemen pemerintahan baru, atau apapun namanya merupakan pekerjaan besar dan menuntut adanya pembaharu (inventors, pioneers) yang mempunyai semangat kewirausahaan (entrepreneur) sehingga dapat mentransformasikan sistem dan organisasi pejabatis menjadi organisasi yang bersifat wirausaha. Kesadaran, pemahaman dan pengetahuan yang mendalam dari para elit birokrasi mengenai semangat kewirausahaan di sektor publik dalam rangka mereformasi birokrasi harus menjadi agenda yang penting. Pemahaman yang keliru, parsial, tidak holistik dan tidak komprehensif terhadap hal ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan sikap resistensi yang kuat dari elit birokrasi untuk mempertahankan status quo dan anti akan perubahan yang sebenarnya baik bagi masyarakat. Sudah saatnya kita berubah. Semoga, ...

1 komentar: