BAB
I
PENDAHULUAN
Eksistensi
dari lembaga perwakilan rakyat (parlemen) di sebuah negara yang menganut trias
politica merupakan sebuah keharusan. Hal ini dilakukan sebagai check and
balances diantara lembaga lain, yaitu eksekutif dan yudikatif. Demikian pula
yang terjadi di Indonesia, dimana terdapat lembaga perwakilan rakyat yang sudah
digagas sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Keinginan berparlemen di Indonesia
muncul pada masa kolonial Belanda, dimana pada saat itu terbentuklah Volksraad
(Dewan Rakyat) sebagai sebuah lembaga perwakilan, meskipun pada tataran
prakteknya Volksraad tidak dapat dibilang sebagai lembaga perwakilan rakyat
karena hak-hak sebagai sebuah parlemen tidak bisa terpenuhi.
Setelah
kemerdekaan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat pun kemudian dilaksanakan oleh
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang pada mulanya komite ini dibentuk
hanya untuk membantu tugas presiden sebelum terbentuk MPR dan DPR (sesuai
dengan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945). Akan tetapi, muncul tuntutan-tuntutan
agar KNIP diubah fungsinya sebagai lembaga parlemen. Pertanyaannya disini
adalah mengapa harus ada MPR? Padahal sudah ada DPR, dimana DPR merupakan
representasi dari rakyat sesuai dengan namanya. Alasan dibentuknya lembaga yang
disebut sebagai MPR ini adalah karena adanya keinginan untuk membentuk sebuah
lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat, dan di dalam lembaga
tertinggi negara ini Presiden memberikan pertanggungjawabannya. Sedangkan DPR
hanya merupakan wadah wakil dari partai politik saja yang lolos dalam pemilihan
umum, tetapi tidak bisa menampung orang-orang non-parpol. Oleh karena itu, DPR
belum bisa dikatakan sebagai perwakilan seluruh rakyat.
Kemudian pada masa RIS, parlemen di
Indonesia menganut sistem bikameral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya adanya
Senat dan DPR RIS. Senat mewakili negara-negara bagian sedangkan DPR RIS
dianggap mewakili seluruh rakyat Indonesia. Sistem bikameral ini diterapkan di
masa RIS karena pada masa itu Indonesia merupakan negara federal bukan negara
kesatuan. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Pada masa UUDS 1950, Indonesia
kemudian menganut sistem unikameral, dimana hanya ada satu kamar yaitu MPRS,
sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1950 yang dikeluarkan oleh Presiden
Soekarno.
Di masa kepemimpinan
Presiden Soeharto, MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR mempunyai fungsi dan wewenang yang sangat penting. MPR membuat Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan juga memilih serta melantik presiden dan wakil
presiden. Anggota MPR ini terdiri dari anggota DPR dan golongan fungsional yang
terdiri dari utusan daerah dan TNI. Pada masa orde baru ini memang bertekad
untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pada
kenyataannya, MPR malah sering dijadikan sebagai lembaga yang melegitimasi
tindakan pemerintah.
Semenjak
jatuhnya Presiden Soeharto, maka banyak tuntutan dari kalangan reformis untuk
melakukan juga reformasi di dalam konstitusi. Tuntutan mereka adalah
dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, yang selama orde baru dianggap suatu
hal yang sakral yang tidak boleh diotak-atik lagi karena merupakan karya para founding parents yang mempunyai nilai
sejarah tak terhingga. Kemudian dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945,
dimana UUD 1945 sebelum diamandemen dianggap terlalu koruptif dan terlalu
otoritarian. Amandemen ini dilakukan sebanyak 4 kali pada periode 1999-2002.
Amandemen UUD 1945 ini pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga
perwakilan di Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut menghasilkan sebuah
lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen ini juga mengubah
kedudukan MPR yang dulunya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga
tinggi negara, yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Perubahan terhadap lembaga
perwakilan di Indonesia itu kemudian menimbulkan suatu wacana yang sampai saat
ini masih menimbulkan perdebatan. Apakah yang sebenarnya yang dianut oleh
parlemen di Indonesia, apakah bikameral atau trikameral dengan melihat
eksistensi dan fungsi dari tiga lembaga tinggi negara DPR, DPD, dan MPR
tersebut?
Sebelumnya,
lebih baik kita menilik sebentar bagaimana proses amandemen UUD 1945 terkait
dengan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Perdebatan mengenai lemabga
perwakilan ini ada dua hal, yaitu mengenai kedudukan MPR dan juga adanya
pembentukan dua kamar (DPD sebagai sebuah kamar baru). Mengenai MPR, tekad kuat
untuk meniadakan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dengan
memanfaatkan MPR sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas
terjadi di dalam proses amandemen UUD 1945 ini. Oleh karena itu, menurut
fraksi-fraksi MPR di Panitia AdHoc III dan I ingin mereformasi MPR secara
total.
Kemudian
terjadi perdebatan-perdebatan mengenai MPR. Pertama, MPR tidak perlu dibentuk
sebgai lembaga sebab kewenangannya bersifat insidental sehingga pimpinan MPR
dapat dirangkap secara langsung secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD.
Kedua, pendapat yang mengatakan masih perlunya MPR sebagai lembaga dengan
pimpinan dan sekretariat tersendiri. Alasannya, Pasal 2 ayat (1) hasil
perubahan mengatakan, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Jadi yang
bergabung bukan lembaganya tetapi para anggotanya. Dengan demikian, MPR
merupakan lembaga tersendiri. Maswadi Rauf mengusulkan MPR berubah menjadi
semacam join session seperti Congress
di Amerika Serikat yang bertemu dalam waktu tertentu, yaitu bergabung dalam
satu rapat gabungan di MPR.
Terkait
dengan kedudukan DPD sebagai kamar baru di dalam UUD 1945 hasil amandemen, pada
proses pembentukannya ada juga perdebatan. Para tim ahli mengusulkan sistem
perwakilan dua kamar atau bikameral, dimana DPR dan DPD memiliki kedudukan yang
sama dan sejajar dalam fungsi-fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Prof. Dr.
Maswadi Rauf, Prof. Dr. Soewoto Mulyosudarmo, dan Prof. Dr. Ramlan Surbakti
sama-sama mengusulkan agar DPD sebagai satu kamar kedudukannya sejajar dengan
kamar DPR.
Lalu, bagaimanakah sebenarnya wajah
parlemen di Indonesia saat ini? Bagaimana kedudukan MPR, DPR, dan DPD
sebenarnya, apakah Indonesia menganut sistem unikameral, bikameral, ataukah
trikameral? Untuk menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengetahui dahulu
pengertian dari unikameral, bikameral, dan trikameral ini serta melihat
kedudukan MPR, DPR, dan DPD serta fungsi-fungsinya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Sistem
Parlemen (unikameral,
bikameral, dan trikameral)
Unikameral terdiri dari satu kamar
parlemen, sedangkan bikameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing
mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Dalam struktur parlemen nasional pada
unikameral tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seeprti adanya DPR dan
Senat, ataupun majelis tinggi dan majelis rendah. Fungsi dewan atau majelis
legislatif dalam sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi
dalam struktur negara. Bikameral biasanya terdiri dari Majelis Rendah dan
Majelis Tinggi (yang kemudian dalam penerapan di negara-negara penganut
bikameral, namanya berbeda-beda, tidak mesti Majelis Rendah dan Majelis
Tinggi). Salah satu alasan mengapa negara menganut sistem bikameral ini adalah
adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara
pihak eksekutif dan legislatif. Trikameral berarti bahwa struktur organisasi
parlemen nasional terdiri atas tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi
sendiri-sendiri.
Pada perkembangannya, bikameral
dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk lagi. Giovanni Sartori membagi sistem
parlemen bicameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem bicameral yang lemah (soft
bicameralism), sistem bicameral yang kuat (strong bicameralism), dan perfect
bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila kekuatan salah satu kamar jauh
lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan strong bicameralism terjadi apabila
kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat. Sedangkan perfect bicameralism
terjadi ketika kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.
Menurut Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari
weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan
anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan
minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
wewenang, serta akan bersatu dalam sebuah joint session untuk menjalankan
fungsi-fungsi tersebut. Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya,
sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara
yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga
bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan
kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok
kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani
mayoritas).
Sistem
dua kamar adalah praktik
pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi,
parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang
terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua
kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of
Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini
diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati
sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya
sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem
politik di Indonesia.
2.2. Berbagai bentuk sistem dua kamar
Federalisme
Beberapa
negara, seperti Australia, Amerika Serikat,
India, Brasil, Swiss, dan Jerman, mengaitkan sistem
dua kamar mereka dengan struktur politik federal
mereka. Di AS, Australia dan Brazil, misalnya, masing-masing negara bagian
mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif. Tidak
peduli perbedaan jumlah penduduk antara masing-masing negara bagian. Hal ini
dirancang untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak
dibayang-bayangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. (Di
AS, kesepakatan yang menjamin pengaturan ini dikenal sebagai Kompromi Connecticut.)
Di majelis
rendah dari masing-masing negara, pengaturan ini tidak diterapkan, dan kursi
dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua
kamar adalah sebuah metode yang menggabungkan prinsip kesetaraan demokratis
dengan prinsip federalisme. Semua suara setara di majelis rendah, sementara
semua negara bagian setara di majelis tinggi.
Dalam sistem
India dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenal sebagai Rajya Sabha
dan Bundesrat), bahkan lebih
erat terkait dengan sistem federal, karena para anggotanya dipilih langsung
oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian India atau Bundesland Jerman. Hal ini pun terjadi di AS
sebelum Amandemen ke-17.
Sistem dua kamar kebangsawanan
Di beberapa
negara, sistem dua kamar dilakukan dengan mensejajarkan unsur-unsur demokratis
dan kebangsawanan. Contoh terbaik adalah Majelis Tinggi
(House of Lords) Britania Raya, yang terdiri dari sejumlah
anggota hereditary peers. Majelis
Tinggi ini merupakan sisa-sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah
mendominasi politik Britania Raya, sementara majelis yang lainnya, Majelis Rendah
(House of Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih. Sejak beberapa tahun lalu
telah muncul usul-usul untuk memperbarui Majelis Tinggi, dan sebagian telah
berhasil. Misalnya, jumlah hereditary peers (berbeda dengan life peers) telah
dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang, dan kekuasaan Majelis Tinggi
untuk menghadang undang-undang telah dikurangi.
Sebuah contoh
lain dari sistem dua kamar kebangsawanan adalah House of Peers Jepang, yang dihapuskan
setelah Perang Dunia II.
Artikel yang bagus buat nambah wawasan soal Sistem Bikameral Indonesia
BalasHapusAssalaamu'alaikum, saya izin copy tulisannya untuk tugas mata kuliah ilmu hukum. Terimakasih.
BalasHapusIzin copas untuk tugas hukum terimakasi
BalasHapus